Jumat, 13 Juli 2012

(Peri Kamboja of English Version)


The Frangipani Fairy
Helping of the Dwrf’s Palace
 
Creator: K. Usman
            The Frangipani Fairy flies between the leafy greens. In the wide road underside, the dwarfs stand in rows orderly.
            “One-two! One-two!”
            Those dwarfs walk  singing. “Please come soon the flower season. The beautiful season for all of us”
            The Yellow Drafs walks in the frontage. He sees the frangipani flower blossom in the edge of road. “Look at the flower! The flower is so fine-looking, it shapes like trumpet. It smells good and refresh.”
            “Lets we pick that flower!” the Black Dwarf asked.
            “What for?” said the Orange Dwarf mocking. “That is only the flower of cemetery. Hiiyy...I am frightened!” he said with pretending that he is frightened. The other dwarfs are smiling when they saw it.
            But, the White Dwarf said, “The Frangipani flower is not always as a shelter in the graveyard. Frangipani flower is also planted in the home garden and city gardens because the flower is very beautiful an fine-looking.”
            The Frangipani Fairy still flies above the dwarfs. She crawls between the leaves. She can hear clearly what the dwarfs saying. Is the Frangipani Fairy angry because Frangipani flower regarded as the flower of cemetery? No! The Frangipani Fairy is not angry, she even feels glad and proud.
***
            The flower fairies have been gathering under Kemuning’s tree.
            “Lets we compete to patch the fine rain,” the Yellow Magnolia Fairy asked.
            “It’s good idea,” the Fragrant Night Fairy answered.
            “But, how will we do it?”
            “We patch the fine rain which is in the air. It means, we do not collect the falling rain in the ground or on the leaves,” the Yellow Magnolia Fairy described. “So, who are collecting much water, she will be the winner.”
            “It’s so interesting,” the Fragnant Night Fairy answered.
            “Lets we start it!”
            “But, we do not have the jury yet,” the Magnolia Fairy said.
            “How about appoint the parrot to be the jury?” the Cananga Fairy suggested.
            The other flower fairies laugh out loud while they heard it.
            “Ha-ha-ha... . Hi-hi-hi... .”
            “The parrot like to immite. It is not proper to be the jury, right?” they answered.
            “That’s right? Someone who likes to imitate is easy to be affected by another.”
            “We can choose the Honey Bee Queen to be the jury,” the Rose Fairy recommended and the other flower fairies agree with her.
            Suddenly, the Fragnant Night Fairy realized that there is fairy missing. “Where is the Frangipani Fairy?” she asked. The other fairies are also realizing that.
            “Maybe she still dresses up,” said the Rose Fairy.
            “It would not be enchanting if the participants of this game are not complete,” the Cananga Fairy said. “It is better to go to the Frangipani Fairy’s house. We ask her to follow this game.”
            The flower fairies fly to the Frangipani Fairy’s house shortly. They fly with singing, “There are so many clouds in the sky. It is white like fish skeleton.”
            At the Frangipani Fairy’s house, they are surprised. The Frangipani Fairy has been fighting with the Black Dwarf.
            “Why are you dropping my flower off?” she said.
            “I just pick a bunch!” the Black Dwarf answered.
            “But, you do not permit,” the Frangipani Fairy said.
The Rose Fairy tries to separate the fighting. “Having fight is not good behavior. Why do not you end this fight an living in harmony? If you want to pick anything, you must permit to the owner first.”
            The Black Dwarf realizes his fault and apologizes to the Frangipani Fairy. Then, the Rose Fairy describe to the Frangipani Fairy that giving something to others is good deed. The Frangipani Fairy understand it. She is willing to forgive the Black Dwarf.
            “Now, lets we compete in the game of collecting the fine rain. Righ?” the Rose Fairy asked. The Frangipani Fairy is interested to follow it. But the Black Dwarf refuses it.
            “The game of collecting the fine rain is not exciting,” the Black Dwarf said.

...to be continue.. (^.^)

(Peri Kamboja dalam Bahasa Indonesia)

Ilustrasi (runadabooks.com)
Peri Kamboja
Menolong Kerajaan Kurcaci
Pengarang: K. Usman
            Peri Kamboja terbang di antara daun-daun yang rimbun. Di bawah sana, di jalan yang lebar, para kurcaci berbaris rapi.
            “Satu-dua! Satu-dua!”
            Para kurcaci itu berjalan sambil bernyanyi. “Cepatlah datang musim bunga. Musim yang indah untuk kita semua”
            Kurcaci Kuning berjalan paling depan. Dia melihat bunga kamboja mekar di tepi jalan. “Lihat bunga itu! Mahkota bunganya bagus sekali, bentuknya seperti terompet. Baunya pun harum menyegarkan.”
            “Ayo kita petik bunga itu!” ajak Kurcaci Hitam.
            “Untuk apa?” kata Kurcaci Oranye menyepelekan. “Itu hanya bunga kuburan. Hiiiyy...serem!” lanjutnya sambil meringkuk berpura-pura ketakutan. Kurcaci lain tersenyum melihatnya.
            Tapi Kurcaci Putih berkata, “Tidak selalu bunga kamboja dijadikan peneduh kuburan. Kamboja bisa juga di tanam di halaman rumah dan di taman-taman kota. Sebab, bunganya sangat cantik dan indah.”
            Peri Kamboja masih  terbang di atas para kurcaci. Dia menyelinap di antara daun-daun. Dia bisa mendengar dengan jelas perkataan para kurcaci itu. Apakah Peri Kamboja marah karena bunga kamboja disebut sebagai bunga kuburan? Tidak! Peri Kamboja tidak marah, bahkan merasa senang dan bangga.
***
            Para peri bunga sedang berkumpul di bawah batang pohon kemuning.
            “Mari kita berlomba menampung gerimis,” ajak Peri Cempaka Kuning.
            “Ide yang bagus,” jawab Peri Sedap Malam.
            “Tapi, bagaimana caranya?”
            “Kita mengumpulkan air gerimis yang masih di udara. Bukan mengambil air yang sudah jatuh ke tanah atau di atas daun-daun,” jelas Peri Cempaka Kuning. “Nah, yang paling banyak mengumpulkan air, dia pemenangnya.”
            “Menarik sekali,” jawab Peri Sedap Malam.
            “Ayo, segera kita mulai!”
            “Tapi, kita belum punya juri,” kata Peri Cempaka.
            “Bagaimana kalau kita angkat Burung Beo sebagai juri?” tanya Peri Kenanga. Peri bunga yang lain tertawa mendengarnya.
            “Ha-ha-ha... . Hi-hi-hi... .”
            “Burung Beo suka meniru. Bagaimana dia bisa menjadi juri?” tanya mereka.
            “Benar juga, ya? Orang yang suka meniru mudah dipengaruhi orang lain.”
            “Kita bisa memilih Ratu Lebah Madu untuk menjadi juri,” usul Peri Mawar. Semua peri bunga langsung setuju.
            Tiba-tiba, Peri Sedap Malam menyadari bahwa ada peri yang tidak hadir. “Di mana Peri Kamboja?” tanyanya. Peri bunga yang lain baru menyadari hal itu. “Mungkin dia masih sibuk berdandan,”kata Peri Mawar.
            “Kurang seru kalau peserta lomba tidak lengkap,” kata Peri Kenanga. “Sebaiknya kita pergi ke rumah Peri Kamboja. Kita ajak dia mengikuti lomba.”
            Peri bunga segera terbang menuju rumah Peri kamboja. Mereka terbang sambil bernyanyi, “Di langit banyak awan. Putih seperti sisik ikan.”
            Setibaya di rumah Peri Kamboja, mereka terkejut. Peri Kamboja sedang bertengakar dengan Kurcaci Hitam.
            “Mengapa kau rontokkan bungaku?” katanya.
            “Aku hanya memetik sekuntum, kok!” jawab Kurcaci Hitam.
            “Tapi kau tidak meminta izin lebih dulu,” kata Peri Kamboja.
Peri Mawar mencoba melerai pertengkaran. “Bertengkar itu tidak baik. Mengapa kalian tidak berdamai saja? Kalau mengambil sesuatu memang harus ijin.”
            Kurcaci Hitam menyadari kesalahannya dan meminta maaf. Lalu, Peri mawar menjelaskan pada Peri Kamboja bahwa memberikan maaf kepada orang lain adalah perbuatan baik. Peri Kamboja mengerti. Dia bersedia memaafkan Kurcaci Hitam.
            “Sekarang kita berlomba menampung gerimis. Bagaimana?” tanya Peri Mawar.
            Peri Kamboja tertarik untuk mengikutinya. Tapi, Kurcaci Hitam menolaknya.
            “Lomba menampung gerimis kurang seru,” kata Kurcaci Hitam.

...bersambung..(^.^)

Kamis, 12 Juli 2012

Allah, Aku Ingin Bicara


Ini bukanlah cerita layaknya FTV dan sinema lainnya yang berisi cinta-cinta. Aku tak akan mendefinisikan cinta sebelum aku merasa cinta itu hilang.

Ya Alloh, maafkan hamba yang tak pernah bisa sepenuhnya melupakan makhlukmu itu. Apakah ada muslihat syetan di sini? Apakah hatiku teramat kotor sehingga tak bisa membedakan antara virus dan iman terhadapMu?

Mataku sungguh berat. Sesekali tak bisa ku bendung air yang tertampung di kelopak mataku. Aku lelah ya Alloh...hamba sungguh tak ingin mengotori hati ini dengan benih zina karena hamba sudah teramat banyak dosa dari zina itu.

Hamba tak layak memiliki rasa ini. Dengan ini hamba merasa mendholimi orang yang hamba sayang. Rasa sayang hamba akan membunuhnya. Hamba serahkan segala urusan dan takdir dunia dan akherat hamba. Bantulah dan ridhoi semua rencana hamba di dunia ini. Segalanya memang telah menjadi takdirMu. Hanya satu harapan terbesar hamba di dunia ini ya Alloh,, “buat Ibu, adik-adik hamba, dan keluarga yang telah hamba repotkan, merasa bangga dan bahagia di dunia ini. Semoga hamba bisa menjadi perantara kebahagiaan mereka. Wujudkanlah rencana-rencana besar hamba atas mereka ya Alloh.”

Ayah selalu hidup dalam diri hamba karena darahnya akan selalu mengalir di dalam tubuh ini. Ijinkan hamba bertemu dan memeluknya Ya Alloh. Hamba ingin mendengar nasehatnya lagi. Melihat lengkung senyum dan candanya. Ya Alloh, warisi hamba dengan kesabaran dan ketabahan seperti sabar dan tabahnya ayah hamba.

Tak ada seorang pun di dunia ini yang menginginkan keturunannya kelak mengalami hal yang buruk. Begitu juga aku dan kedua orang tuaku dulu. Ya Alloh, jikalau Engkau telah membuka tabirku kepada ayahku.  Janganlah sedikitpun cambuk malaikatmu menyentuh kulitnya. Janganlah air matanya jatuh menetes di pipinya. Semoga singkap tabirku membuatnya tetap tenang di sana dan selalu dalam kenikmatan serta kebahagiaan yang tiada tara. Aamiin..
Selalu terangi jalan hamba ya Alloh. Bimbing dan nasehati hamba agar iman ini tetap dapat hamba tingkatkan.

Sekarang ini hamba teramat rindu pada Ayah hamba. Ijinkan hamba berjumpa dengannya di mimpi hamba malam ini ya Alloh. Hamba ingin memeluknya...hanya memeluknya..

Embun Jiwa Rabbani


Ilustrasi (ibh3.wordpress.com)
“Dunia adalah perhiasan, sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.”(H.R. Muslim)
1/26 >> Ustazah Hanifah

“Aku masih ingin berlama-lama di sini. Di luar sana, pasti akan ada yang mengoyakkan hati ini, sangat sulit hatiku merasakan sejuk daun fajar yang terlapisi embun saat lepas dari tempat ini bersamamu, ustazah.”
“Siapa nih yang mau baca doa rabithah sebelum majelis ini kita tutup? Elmira?”
“Ya ustazah?,” terperanjat dengan nada kaget sesaat setelah jiwa dan pikiranya berdialog sendiri tentang kenyamanan hatinya berkumpul bersama teman dan murabbinya.
“Sedang memikirkan apa, to? Kok kaget gitu? Ayo, Elmira yang pimpin doa rabithahnya ya?”
“Hehe, iya ustazah. Bismillahirrohmaanirrohiim, mari kita tundukan hati kita pada Allah SWT.”
Elmira, Ustazah Hanifah, dan tiga temannya yang lain terlihat khusuk berdoa. Mereka duduk melingkar di lantai sebuah Masjid dengan menengadahkan tangan, kepala tertunduk, mata terpejam, dan badan sedikit condong ke depan. Suasana yang sangat sejuk. Terdengar lirih suara Elmira memanjatkan doa rabithah dengan fasih, yaitu doa pengikat hati yang terdapat dalam surat Ali Imran ayat 26 dan 27. Doa yang selalu dipanjatkan sebelum mereka berpisah dalam sebuah halaqah1 agar jiwa ini selalu diingatkan akan kekuasaan Allah yang Esa.
Selesai Elmira membaca doa, halaqoh mereka pun diakhiri sore itu. Tanpa lupa ustazah Hanifah memberikan selembar lipatan kertas kecil pada masing-masing adik didikannya. Itulah salah satu kebiasaan Ustazah yang selalu berusaha agar adik-adiknya selalu istiqomah menjaga iman mereka.
Satu per satu mereka berpamitan satu sama lain. Hingga tersisa Elmira dan Murabbinya yang belum beranjak pergi.
“Ada apa denganmu, sholehah? Memikirkan apa tadi?” tanya Ustazah dengan senyum sambil mengeser posisi duduknya tepat berhadapan dengan Elmira. Kedua lutut mereka pun bersentuhan.
“Mira masih mau di sini, ustazah. Mira males pulang. Mira merasa menjadi orang lain kalau sudah keluar dari tempat ini.” Jawab Elmira dengan pandangan tertunduk.
“Ceritakan saja, Mira. Mira percaya sama ustazah?”
Mira mengangguk pelan kemudian mulai bercerita.
“Mira masih sering merasa tidak nyaman memakai pakaian serba lebar dan jilbab yang teralu besar ini, ustazah. Di sekolah, masih ada saja teman yang bilang ‘mau pengajian bu Haji?’ sambil terkekeh menertawakan Mira. Teman-teman perempuan Mira pun semakin enggan bersama Mira, mereka pernah nyeletuk ‘Kita manusia biasa bukan manusia langit, maaf aja kalau sering khilaf. Jilbab sih nanti dulu, yang penting hati dulu yang dijilbabi. Mira hanya bisa diam ustazah. Mira bingung harus berkata bagaimana kepada mereka. Mira juga masih merasa sering lalai, bukan manusia langit seperti kata mereka.”
Mira terdiam sesaat kemudian meneruskan kata-katanya.
“Ustazah, boleh Mira mengecilkan baju-baju Mira dan memendekan jilbab Mira?”
“Ustazah boleh bertanya dulu? Kenapa Mira mau pake baju dan jilbab lebar ini?” tanya ustazah dengan mengelus jilbab dan baju Mira.
“Karena Mira melihat ustazah dan semua santriwati di sini. Dengan pakaian seperti ini, mereka terlihat sangat cantik dan sejuk. Apalagi setelah ustazah mengajak Mira masuk ke dalam halaqah ini. Mira pun berpikir harus memakai pakaian yang seperti ini.”
“Hanya itu Mira?”
“Tidak ustazah. Ada lagi. Setelah ustazah bilang kalau setiap perempuan muslim wajib mengulurkan jilbabnya menutupi dadanya, Mira jadi lebih tahu kalau Mira harus selalu pakai jilbab. Tapi, kenapa harus serba lebar seperti ini, ustazah?”
“Aurat perempuan bukan hanya sekedar permukaan kulit yang haram dilihat oleh orang yang bukan mahram kita. Manusia mempunyai akal untuk berpikir bahkan berimajinasi. Imajinasi manusia bisa menembus batas yang tidak terlihat secara permukaan. Maukah kita kaum perempuan ditelanjangi dengan imajinasi mereka karena pakaian kita yang membentuk lekuk tubuh? Ikhlaskah hati kita diperlakukan diam-diam seperti itu? Mungkin kita akan mengatakan ‘Ya itu dosa bagi mereka yang berpikiran kotor, kita kan sudah menjalankan perintah untuk menutup aurat, di perintahnya juga tidak tertera larangan membentuk lekuk tubuh.’ Perempuan dianugerahi oleh Allah dengan bentuk tubuh yang indah dan Allah mewajibkan kita untuk menutupinya. Tujuan untuk menutup aurat itu agar tidak menimbulkan fitnah berupa syahwat bagi orang yang melihatnya. Kalau kita melihat seorang perempuan dengan pakaian ketat, apakah auratnya benar-benar tertutupi dan tidak menimbulkan syahwat? Lebih aman yang mana antara perempuan yang berpakaian ketat dengan orang yang berpakaian longgar?”
“Ya ustazah, Mira mengerti. Mira juga tak akan terlalu ketat memakai bajunya dan Mira juga sudah berjanji pada Allah akan terus memakai rok.”
“Dan janji Mira itu sekarang disaksikan oleh ustazah,” sambung ustazah sambil menatap wajah Mira dengan senyum seakan mengajak senyum adik didikannya yang memiliki wajah putih dengan mata bulat yang selalu berbinar-seakan ada cahaya di matanya. Mira pun ikut tersenyum memperlihatkan gigi putihnya yang tersusun rapi.
Ponsel ustazah Hanifah berdering. Rupanya ada telepon dari suaminya. Ustazah Hanifah memang masih berumur 22 tahun, tetapi ia sudah berani untuk menikah sejak setahun yang lalu. Suaminya adalah seorang karyawan di sebuah toko busana muslim terkenal di kota Surabaya bernama Al-Khansa. Sebelum menikah, ustazah Hanifah adalah seorang wanita biasa yang bekerja di sebuah toko buku kecil dekat Pondok Pesantren Darul Mu’minin. Seorang pengajar Pondok Pesantren bernama Ustazah Arini sering melihat Hanif-begitulah panggilan Ustazah Hanifah dulu- kerap mendongengkan cerita-cerita Nabi dan para sahabat Nabi kepada anak-anak kecil selepas shalat Asar. Caranya saat mendongeng sangat mengasyikan. Tidak hanya dilakukan dalam satu tempat saja. Seringkali dia mengajak anak-anak kecil itu ke pelataran mushola di samping toko buku kecilnya atau bahkan pergi ke sawah dan kebun di belakang mushola sambil melihat cahaya langit jingga saat matahari mulai tenggelam di balik lembah-lembah yang berjajar. Hanif pun mempunyai cara unik dalam mendongeng, ia mengajak anak-anak kecil untuk ikut aksinya mendongeng dengan berlari-lari, bermain perang-perangan, memakai daun-daun dan ranting, memakai jubah dengan selendang yang diikatkan di belakang leher sehingga berkibar saat berlari. Itulah salah satu caranya mendongeng tentang peperangan Nabi Muhammad melawan kaum Kafir. Mendongeng menurut Hanif adalah salah satu caranya berdakwah pada anak-anak. Melalui cara itulah ia bisa lebih dekat dengan anak-anak dan mengajarkan ketauhidan Allah dengan cara yang disukai anak-anak. Hanif yang pada saat itu hanyalah lulusan SMP, dan tidak lagi melanjutkan sekolahnya karena harus membantu Ibunya bekerja menghidupi empat orang adiknya. Apalagi saat itu ia menjadi anak yatim sejak kelas 3 SMP. Ibunya menyuruhnya untuk tetap melanjutkan sekolah ke SMA, tetapi Hanif tetap tidak mau jika Ibunya sendirian bekerja untuk 5 orang anaknya. Hanif merasa harus mengalah dulu, menunda sekolahnya, walau ia pun tak tau kapan ia punya uang cukup untuk sekolah. Hanif tetap menikmati kehidupannya, keinginannya untuk bisa sekolah dia serahkan semua pada kuasa Allah.

Bersambung... .

Apakah Segala Urusanmu Sudah Kau Libatkan Allah?*

Ilustrasi (inet)
Bismillah
Lagi-lagi tema kita seputar percintaan. Namun, Insya Allah sudut pandangnya di sini sedikit berbeda. Saya akan awali sajian kali ini dengan sebuah kisah.
“De, apakah Adek bersedia menjalani taaruf dengan Mas? Bila Adek butuh waktu untuk menjawabnya, silahkan, Mas tunggu jawabannya dengan segala pertimbangan Adek.”
“Hmm, iya Mas. Hal ini perlu Ana pikirkan dan bicarakan dulu dengan Ibu Ana. Insya Allah, Ana akan jawab seminggu ke depan.”
Sms pun diakhiri dengan salam. Sang Akhwat sangat takjub dan berdebar hatinya saat mendapat permintaan itu. Apalagi permintaan sebuah hubungan kedewasaan yang saat ini usianya sudah cukup matang. Akhwat ini belum lama berhijab dan sedang mendekatkan diri pada Allah. Dia merasa doanya terkabulkan setelah sekian lama berdoa agar didatangkan seorang Ikhwan yang mau mengajaknya menjalin hubungan dengan proses yang syar’i.
Beberapa hari kemudian, sang akhwat menceritakan itikad sang Ikhwan pada Ibundanya. Diceritakanlah semua hal yang ditanyakan Ibundanya perihal bibit, bebet, dan bobot sang Ikhwan berdasarkan hasil interviewnya pada seorang teman dekat Ikhwan. Ibundanya pun menjawab, “Alhamdulillah, perkenalkan Ibu pada Ikhwan itu.” Itulah kalimat persetujuan Ibunda.
Kalimat itu pula yang mengantarkan sang Akhwat mengabarkan berita gembira untuk Ikhwan. Betapa bersyukurnya sang Ikhwan mendapat jawaban itu. Saat itu pula sang Ikhwan dapat berkomunikasi dengan Ibunda sang Akhwat. Dimulailah suatu pertalian taaruf yang di dalamnya ada peran perantara seorang Ibu. Jadi, Insya Allah hubungannya pun jauh dari aroma pacaran.
Beberapa bulan pun berlalu. Selama jalinan itu, komunikasi Ikhwan-Akhwat itu sekedarnya. Itupun sepengetahuan Ibunda Akhwat. Bahkan, sang Ikhwan lebih banyak berkomunikasi dengan Ibunda Akhwat.
Mulailah ada perasaan tak nyaman dalam hati Akhwat. Benaknya pun berkata, “Ya Allah, aku menjalani hubungan ini karena aku tahu dia baik dan Insya Allah agamanya pun sempurna. Kau pun tahu, aku tak mempertimbangkan perasaan alami yang tak kunjung tumbuh dalam hati ini. Namun, mengapa hati ini seakan terus menolaknya?”
Tak hanya gejolak perasaan saja yang dialami sang Akhwat, perdebatan panjang pun kerap terjadi, bahkan sering melibatkan sang Bunda. Hingga pada suatu ketika, sang Akhwat menginginkan disudahi jalinan taaruf mereka dengan alasan tak ada ‘klik’ dengan Ikhwan. Namun, permohonan itu ditolak oleh sang Ikhwan dan Ibundanya sendiri dengan alasan “Terlalu egois jika kamu hanya mementingkan perasaanmu itu.” Hal itupun yang membuat Ibundanya merasa sakit dan kecewa pada Akhwat karena ketidakjujuran perasaannya pada Ikhwan. Tak ada pilihan lain kecuali tetap menjalin hubungan dengan Ikhwan dan mengikuti apapun kemauan Ibundanya walau perasaan akhwat serasa dicabik-cabik karena kesalahannya sendiri.
Akhwat pun mengadu pada Allah, hingga ia menemukan sebuah kesalahan yang awalnya dianggap sepele. Ya, di awal masa sebelum menyepakati hubungannya ia melalaikan Allah. Walaupun ia sudah mencari keridhaan Ibundanya, tetapi ia tidak melibatkan Allah di sana. Ia lalai tidak bersepakat dengan Allah dengan salat Istikharah.
Itulah sepenggal kisah tentang ridha Allah, ridha orang tua, dan ketidakjujuran. Walaupun urusan itu menyangkut dunia akherat, orang tua meridhai tetapi lupa melibatkan Allah, proses dan hasilnya pun tidak akan baik. Shalat Istikharah adalah salah satu cara mencari kesepakatan dan keridhaan Allah. Semua urusan bersumber dari Allah, baik buruk, kecil besar, penting dan kurang penting, jika dalam hati menyimpan keraguan sekecil apapun, mintalah petunjuk dari Allah. Walaupun urusan itu sudah terlihat baik dan sesuai koridor, alangkah lebih bijak jika memantapkannya dengan mencari restu Allah agar urusan itu lebih banyak mendatangkan barokah.
Semoga bermanfaat. Wallahu‘alam Bishshawab

Pada Beling Kuberujar


Kekesalanku, membuatku merindukan gelas kecil. Biarku genggam gelas itu di telapak tanganku. Mengadu perih dan terbakarnya hati ini dengan perih gerusan remuk beling di telapak tangan. Membanding derasnya aliran darah di jantungku dengan aliran darah yang menapaki gurat tangan ini.
Biar darah yang kulihat membuat sebentuk dunia kecil untuk kutinggali.
Akan kukekal di dalamnya.
23 Januari 2011