Jumat, 08 November 2013

Mozaik Mimpi

_Aku berjalan meniti sebuah jembatan kayu. Ia kokoh. Aku pun berjalan di atasnya dengan santai tetapi tetap hati-hati. Ia cukup panjang. Setengah perjalanan aku lewati jembatan itu dengan ringan. Aku tengok samping kanan kirinya. Sepi. Aku sendiri di atasnya. Aku putuskan menatap ke depan. "Sudah hampir sampai di ujung jembatan," senyumku sumringah. Hanya beberapa langkah lagi aku sampai di tempat yang baru. Namun, "blasss!!" Sebuah papan kayu amblas-salah satu alas jembatan-jatuh ke dasar jurang. Sebuah papan kayu yang hampir saja kuinjak dengan kaki kananku. Lubang yang menganga di depanku membuatku tertegun. "Ini menyulitkan perjalananku," semangatku luntur. Rasa payah mulai menjalar di sekujur tubuhku. Aku menelisik ke bawah lubang itu. Terlihat batu-batu yang kanan kirinya dipagari tebing yang semakin dalam dan mengerucut. Bibirku bergumam, "Di manakah aku?" Aku berlutut, memandang lubang yang menganga di depanku, lalu terpejam._

Minggu, 27 Oktober 2013

Surat untuk Sang Menantu (Wanita)

Duhai gadis, yang baru kukenal.

Tahukah kau, dia putraku, lahir dari rahim suciku. Kupertaruhkan hidupku untuk memilikinya, anak kesayangan sepanjang hidupku.  Kubesarkan dengan segenap rasa cintaku..
Tangan renta ini yang mengangkat tubuh mungilnya, menyuapinya, menyeka air matanya, dan memeluknya dalam dekapanku.
Duhai gadis, tahukah kau betapa besar rasa cintaku padanya? Bahkan aku tak mampu membayangkan bila ada yang merebutnya dari dekapku..
Tahukah kau gadis? Betapa bangga kurasakan ketika dia mulai beranjak dewasa? Menatapnya tumbuh menjadi laki-laki tegap dan tampan. Seulas senyumnya mengingatkanku pada senyuman ayahnya yang sangat kucinta..
Betapa hati ini terus diliputi rasa bangga dan buncahan cinta padanya.. Kebangganku..Putraku..
Berbagai prestasi dia ukir dan memahatkan bangga tak terperi dalam  lubuk hatiku. Tak sedikitpun dia pernah mengecewakanku. Tak pernah.
Gadis, tahukah kau, betapa haru hatiku, ketika ku melihat perubahannya. Mencoba mengenal Diennya lebih dalam dari yang kami ajarkan padanya. Dia menjadi laki-laki sejati, laki-laki yang dirindukan syurga. Aku semakin sayang padanya. Putraku, kini yang malah mengajarkanku banyak hal. Mendekatkanku padaNya, pada Rabbku yang selama ini kukenal dengan sederhana karena kebodohanku. Tapi ku tak malu, sebaliknya, aku semakin bangga padanya. Putraku, cahayaku..
Namun, semua rasa itu berubah menjadi takut, cemas dan khawatir.
Ketika dia menyampaikan padaku tentang keinginannya. Dia ingin menyempurnakan agamanya..
Yah, dia ingin membangun rumah tangganya sendiri. Dan, dia telah memilih, kaulah gadis beruntung itu.
Gadis, tahukah kau? Betapa cemburunya aku padamu? Yah, aku sangat takut kehilangan putra kesayanganku. Takut kau merebut semua perhatiannya dariku. Takut keberadaanmu, memalingkannya dariku. Kau akan merebutnya, dan aku cemburu.
Namun, kembali kusadari, putraku tak akan memilih wanita sembarang. Ku yakin kau punya kelebihan yang membuatnya memilihmu, dan kumulai menata hatiku.
Duhai gadis pilihan putraku,
Ku harap kau memiliki tangan yang lebih lembut dariku, karena ku tak mau kau melukai putraku.
Ku harap kau mempunyai senyum yang lebih sejuk dariku. Karena kelak, dia akan datang padamu dalam tiap galaunya untuk mencari ketenangan.
Ku harap, kau memiliki pelukan yang lebih hangat dariku. Karena ku ingin hatinya selalu damai dalam dekapanmu.
Ku harap, kau mempunyai tutur kata yang seindah embun, karena ku tak ingin dia mendengar kata-kata kasar dalam hidupnya.
Duhai gadis pilihan putraku,
Jadilah anakku. Agar tak pernah ku merasa kehilangan putraku karena kehadiranmu.
Jadilah sahabatku. Agar kau dapat mencurahkan rasamu padakku kelak.
Jadilah rekanku. Agar bersama-sama kita membahagiakan laki-laki yang sama-sama kita cintai.
Untukmu gadis pilihan putraku,
Selamat datang di istana kami. Penuhilah dengan cinta dan kasih. Semoga kau bahagia menjadi bagian dari kami.

Padamu gadis pilihan putraku, Akupun akan mencintaimu.

Teruntuk (Calon) Ibu Mertuaku...

Ibu, izinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu, duhai calon mertuaku.

Saya bukanlah wanita semulia Khadijah ra.
Saya juga bukan wanita yang cerdas seperti ‘Aisyah ra.
Bukan pula seperti Fatimah az-Zahra yang taat dan tabah.
Apalagi seperti Al Khansa ra yang pandai mendidik anak-anaknya menjadi mujahid dan mujahidah Allah.
Jauh dari kesempurnaan dan kecantikan Zulaikha.
           
    Ibu, saya hanyalah wanita biasa. Wanita yang hanya mempunyai sezaroh ketaatan dan ketabahan. Wanita yang hanya ingin menjadi ma’mum putramu. Berusaha selalu patuh pada imamku. Wanita yang ingin memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anak kami kelak. Wanita yang ingin menjadi pelipur lara dan penentram hati putramu.
        Ibu, izinkan saya menjadi putrimu yang setia mendampingi putramu, walaupun tak sebanding dengan kesetiaanmu padanya. Izinkan saya memberikan cinta dan kasih sayang kepada putramu, walau saya tahu cinta dan kasih sayangmu tak akan pernah tertandingi. Izinkan saya berbakti pada putramu seumur hidup saya, walaupun semua tahu engkau wanita terhebat untuk putramu.
        Ibu, saya akan menjadi rekanmu untuk terus memberi kasih sayang untuk putramu. Saya tak akan merebut perhatian putramu terhadapmu karena saya bukanlah musuhmu. Justru saya akan menjadikan putramu lebih taat kepadamu. Karena engkaulah yang lebih utama mendapatkan perhatian dari putramu, lalu saya.
       Ibu, engkau jauh lebih memahami putramu, maka ajari dan nasehati saya agar menjadi istri dambaan putramu. Saya membutuhkanmu untuk terus menegur kelalaianku, memperbaiki kesalahanku, dan menyempurnakan kekuranganku sebagai istri putramu. Agar saya pantas mendampingi putramu.

Minggu, 29 September 2013

Dua Periode Kehidupan Muslimah


1.        Periode Pranikah
Seorang muslimah memiliki kewajiban pertama yaitu pada dirinya sendiri. Kewajiban kepada diri sendiri di antaranya yaitu menjalankan kewajiban utama kita sebagai hamba Allah dengan menjaga dan mensyukuri apa yang Allah berikan kepada kita. Setelah menjalankan kewajiban utama kepada diri sendiri, peran seorang muslimah sebelum menikah yaitu sebagai anak. Maka dari itu, kewajiban muslimah yang kedua pada periode pranikah adalah kepada orang tuanya.
Pada perode inilah seorang muslimah memiliki kewajiban utamanya yaitu birrul walidain (berbakti kepada orang tua), karena seorang musimah masih menjadi tanggung jawab penuh walinya (Ayahnya) sebelum muslimah itu menikah. Kita patut bersyukur kepada Allah karena dilahirkan dari orang tua yang beragama islam. Berbeda dengan perjuangannya Nabi Ibrahim, yang harus berdakwah kepada ummatnya sedangkan ayahnya adalah seorang pembuat patung berhala. Ayah Nabi Ibrahim adalah seorang kafir penyembah berhala, sedangkan Nabi Ibrahim saat itu sudah mengakui adanya Allah, satu-satunya Tuhan yang wajib disembah. Sebagai seorang anak, Nabi Ibrahim pun berusaha menjadi anak yang berbakti kepada orang tuanya dengan mendoakan ayahnya tetapi tidak mengikuti keyakinan ayahnya tersebut. Selain itu, kita pun mempunyai teladan paling mulia yaitu nabi Muhammad saw. dalam berbakti kepada orang tuanya yaitu ibu, kakek, paman, dan kerabatnya. Orang tua yang utama memang ayah dan ibu, tetapi orang-orang selainnya yang telah merawat kita semenjak kecil, mereka juga disebut orang tua. Nabi Muhammad saw. saat anak-anak sudah bekerja keras membantu paman dan bibinya menggembala kambing, bahkan sering ikut berdagang.
Kewajiban utama anak terhadap orang tuanya ada 4, yaitu membantu pekerjaannya, merawat orang tuanya saat sakit dan tua, mendoakannya, dan menunaikan janji orang tua. Pertama, seorang anak yang masih tinggal bersama orang tuanya wajib membantu orang tuanya di rumah. Hal yang paling sederhana adalah melakukan sendiri kewajiban-kewajibannya di rumah, seperti merapihkan kamar tidurnya sendiri, menyiapkan keperluan sekolahnya sendiri, dan menjaga barang-barang miliknya. Jika anak sadar dan melakukan tiga hal sederhana tersebut, pekerjaan orang tua di rumah akan semakin ringan. Alangkah baiknya lagi jika kita bisa membagi waktu kita di rumah untuk meringankan pekerjaan yang lain, seperti menyapu, mencuci, atau memasak.
Kedua, seorang anak wajib merawat orang tuanya saat sakit. Saat kita masih bayi, orang tua sampai tidak tidur untuk merawat kita ketika sakit. Apakah sekarang setelah kita dewasa, orang tua kita sakit, kita titipkan mereka di rumah sakit dan membiarkan dokter atau orang lain yang merawatnya? Orang tua yang sedang sakit sangat menginginkan kehadiran dan perhatian anak-anaknya, bukan sekedar kesembuhan dari sakitnya. Terlebih lagi jika orang tua kita nanti telah lanjut usia. Jangan sampai kita menyia-nyiakan orang tua kita saat mereka telah lanjut usia, karena mereka tidak pernah menyia-nyiakan kita saat kita masih dalam gendongannya dulu.
Ketiga adalah mendoakan orang tua, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Di dalam sholat kita, ada satu doa wajib yang kita haturkan kepada Allah, yaitu doa untuk orang tua. Doa adalah wujud bakti anak yang paling mudah dilakukan. Namun, berdoanya harus dengan tulus ikhlas, karena syarat dikabulkannya doa adalah dengan ketulusan dan keikhlasan karena Allah. Selain berdoa untuk kebaikan orang tua, kita juga berkewajiban untuk memintakan ampunan atas dosa dari orang tua.
Keempat, menunaikan janji kedua orang tua. Dalam hadits riwayat Imam Bukhori, seorang wanita datang kepada nabi Muhammad saw. lalu bertanya, “Ibuku pernah bernadzar untuk menunaikan ibadah haji, tetapi meninggal sebelum menunaikannya. Apakah aku harus berhaji untuknya?” Nabi saw. menjawab, “Ya, berhajilah untuknya. Bukankah engkau mengetahui bahwa ibumu mempunyai hutang, engkau yang akan membayarnya? Tunaikanlah hajinya, karena itu adalah hak Allah.” Janji orang tua yang baiklah yang harus ditunaikan, jika janji atau keinginan orang tua itu tidak sesuai syariat islam, kita tidak perlu melakukannya.
Selain keempat itu, kita pun berkewajiban untuk berbuat baik dan menyambung silaturrahmi kepada kerabat dan orang-orang yang dekat dengan orang tua kita. Menyambung silaturrahmi itu termasuk dalam wujud kita berbakti kepada orang tua. Nabi Muhammad saw. bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung silaturrahmi.”(H.R. Bukhori)

2.       Periode Menikah
Ketika seorang muslimah telah menikah, bukan berarti kewajibannya terhadap orang tua itu ditinggalkan, tetapi kewajibannya akan bertambah ketika muslimah itu masuk masa menikah. Setelah menikah, seorang muslimah mempunyai kewajiban kepada suami, anak, dan keluarga suami. Banyak keutamaan muslimah yang telah menikah, salah satunya adalah mendapat ridho Allah. Ridho Allah kepada seorang muslimah yang belum menikah adalah bergantung pada ridhonya orang tua, setelah menikah ridho Allah kepada seorang muslimah bergantung pada ridho suaminya. Ridho Allah itu akan didapatkan seorang muslimah jika ia taat dalam hal kebaikan kepada suami, maka balasannya adalah memasuki Surga dari pintu manapun yang dia kehendaki. Sabda Rasulullah saw. “Jika seorang wanita sholat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, dan taat kepada suaminya, dia berhak masuk Surga dari pintu manapun.”
Keutamaan berikutnya adalah mendapatkan ampunan dari Allah. Dari hadist diriwayatkan, “Saat itu burung-burung di udara, hewan di lautan, dan para Mailaikat memohon ampunan kepada Allah bagi wanita yang taat kepada suaminya dan suaminya ridho kepadanya.”
Seorang muslimah mendapatkan banyak pahala saat mengandung, merawat, dan membesarkan anak-anaknya. Saat muslimah mempunyai anak, kewajiban utama seorang muslimah (ibu) adalah mendidik anak-anaknya dengan pendidikan terbaik dan akhlak yang mulia. Di Akherat nanti, kita sebagai orang tua akan diminta pertanggungjawabannya atas amanah berupa anak yang merupakan titipan Allah, apakah kita telah mendidiknya di jalan Allah atau tidak.
Kewajiban yang terakhir adalah kepada keluarga suami. Menikah bukan hanya menyatukan dua orang, tetapi lebih dari itu yaitu menyatukan dua keluarga. Sebagai seorang muslimah, kita harus mengenali keluarga kita sendiri dan jika sudah menikah kita juga harus mengenal keluarga suami. Tentunya tidak sebatas mengenal saja, tetapi harus berbuat baik dan menjaga silaturrahmi karena hak keluarga suami sama dengan hak keluarga kita sendiri. Wallahua’lam bishshawab.

Kamis, 12 September 2013

Salam Manis Untuk Ustadzahku



Air mata ini menderai lembut di pipi tatkala kutatap senja yang perlahan temaram. Gurat-gurat jingga merenda langit kala itu. Warnanya yang sendu semakin membuat hati ini sembilu. Hanya bisa terisak dalam diam. Sunyi. Bulir-bulir air mata menapaki kulit pipi hingga satu-satu meretas lepas.

Allaahu Akbar...Allaahu Akbar

          Bola mata ini mengarah pandang ke sebuah kubah kecil di antara atap-atap rumah yang berjejalan. Corong suara itu mengarah tepat ke arahku. Ia seakan meneriakiku karena sedari tadi pandanganku seolah kosong mengiringi surutnya mentari. Ya, hanya pandangku. Pikiranku carut-marut. Perasaan penuh kecewa sedang berkecamuk di dalam relung ini. Ada kalimat-kalimat yang sedari tadi terus merayapi batin ini.
          “Ustadzah, Firdaus ngamuk lagi.”
          “Firdaus tidak mau ikut pelajarannya Ustadzah.”
          “Ustadzah, Firdaus ke luar kelas lagi.”
          “Sudah lah, Ust tidak usah pedulikan anak itu!”
          “Firdaus kalau sudah marah seperti itu, teriak-teriak dan memukul-     mukul meja.”

Asyhadu An Laa Ilaaha Illallaah

          Apa yang sebenarnya terjadi dengan satu siswaku itu? Firdaus. Dia siswa istimewa? Tidak. Dia sama seperti teman-temannya. Kecerdasannya rata-rata dengan teman-temannya di kelas 5 Sekolah Dasar. Namun, emosinya yang membuatku selalu mengernyitkan dahi seusai pelajaranku di kelasnya. Setiap langkahku meninggalkan kelasnya, perasaan kalah membenamkanku dalam kekecewaan pada diriku sendiri. Perasaanku seakan didakwa tidak bisa mengajar dengan baik, tidak bisa menguasai kelas, hingga ada satu siswa yang kerap kali keluar kelas dengan mengamuk.
          Lagi-lagi ada laporan dari wali kelasnya, “Ustadzah, tadi Firdaus tidak ikut pelajaran Antum lagi, ya? ‘Afwan, sudah saya bujuk dia untuk masuk kelas, tetapi dia tetap tidak mau. ‘Afwan sekali lagi, Firdaus tidak mau diajar oleh Antum.”

Asyhadu Anna Muhammadar Rasuulullaah

          Nafasku sontak berhenti sejenak. Kalimat terakhir yang diucapkan wali kelasnya itu sekejap memenuhi pikiran dan batinku. Menyesakkan. Tak ada respon dariku selama beberapa menit, hingga beliau pun beranjak pergi dari hadapanku. Segera kutersadar dari kekacauan. Kulangkahkan kaki mendahuluinya. Ada satu pertanyaan besar di pikiranku tentang Firdaus.
          “Ada apa dengan Firdaus? Atau ada yang salah dari cara pengajaranku di mata Firdaus?” telisikku pada wali kelasnya itu.

Hayya ‘Alash-Shalaah

Beliau hanya mengalihkan pandangan matanya, kemudian...
          “Begini Ustadzah, Firdaus itu kecewa karena pelajaran favoritnya tidak lagi diajarkan oleh Ustadzah Sarah dan digantikan oleh Antum. Saran saya, Antum dekati Firdaus. Dia sedikit berbeda dalam emosional dibandingkan teman-temannya. Maka dari itu, Antum pun harus dekati dia secara emosional. Raih hatinya, Ustadzah.”
          “Maaf, saya tidak tahu banyak tentang Firdaus.”
          “Dulu, saat Firdaus masih kelas 2, Ustadzah Sarah sangat dekat dengan Firdaus. Saya pun sering melihat Ustadzah Sarah mendudukkan Firdaus di pangkuannya, menggandeng tangannya saat berjalan, atau mengelus kepalanya. Perlakuan itu yang membuat Firdaus begitu menyenangi Ustadzah Sarah.”

Hayya ‘Alal-Falaah

          Beliau menjeda kalimatnya. Menghela nafas, kemudian melanjutkannya.
          “Sekarang, Antum yang menggantikan Ustadzah Sarah. Siswa-siswa kelas 5 senang menyambut guru baru seperti Antum, karena saya melihat keceriaan di wajah mereka. Mereka mengerti dengan kealamiahan pengajaran seperti ini. Namun, berbeda dengan Firdaus. Dia kecewa. Dia adalah tipe anak yang susah sekali membagi hati. Jika dia sudah senang dengan satu orang, maka dia tidak mau melepaskan orang itu.”

Allaahu Akbar...Allaahu Akbar
Laa Ilaaha Illallaah

          Panggilan Adzan telah usai, segera kuseka bekas air mata ini yang mulai mengering. Kututup jendela kamar. Sebelumnya sempat kutengok gurat senja yang semakin menua warnanya.
          Dia adalah tipe anak yang susah sekali membagi hati. Jika dia sudah senang dengan satu orang, maka dia tidak mau melepaskan orang itu.
          Kalimat itu seakan enggan untuk enyah dari lingkaran pikiranku. Berputar dan terus berulang. Kupaksakan untuk tak pedulikan tentang Firdaus dulu, sekarang adalah waktu-Mu.
          Kau memanggilku untuk bicara, suaraku pelan.
          Segera kuambil air wudhu. Kubentangkan sajadah hijauku menghadap-Mu. Kuhadapkan tubuhku kepada-Mu, menyerahkan segenap jiwa, raga, dan urusanku. Kini, aku bersama-Mu. Kuharapkan petunjuk-Mu. Wahai Rabb Sang Pemilik hati setiap insan, Engkau anugerahkan kepadaku sebuah amanah yang Engkau titipkan di sana. Merekalah benih-benih surga yang Engkau tebar di bumi. Izinkan aku untuk merawat, menjaga, dan menumbuhkan benih-benih itu dengan petunjuk-Mu agar kelak dapat menjadi benih surga bagiku di tanah Akhirat-Mu.
          Segala tentang Firdaus kucurahkan semua kepada-Nya, satu-satu kuuraikan hingga hatiku merasa segala beban yang mendesak sesak di hati seakan terbang ringan bagai kapas terhempas angin. Kulantunkan salawat nabi untuk meredamkan hatiku. Terus kulantunkan, hingga hati ini kembali nyaman.
~
          Semburat sinar pagi menyusup dari balik daun-daun. Hari yang hangat. Semoga inilah hari yang benar-benar membuatku hangat di madrasah ini. Dengan langkah ringan, kususuri jalan dengan sumringah. Setiap berpapasan dengan orang, kuucapkan salam dengan kesungguhan, Assalamu’alaikum.
          Kumantapkan hati dan fokuskan pikiran. Aku ingin menang hari ini, bissmillah. Sejenak kupenjamkan mataku, menghubungkan sinyal keimananku pada keesaan-Nya. Hingga sebentuk garis lengkung refleks menghias di kedua bibirku. Tak terasa beberapa langkah lagi kakiku sudah masuk area madrasah tempatku ditempa. Ya, Allah menempatkan hambanya pasti dengan misi tertentu. Segala ujian yang datang padaku berupa kejutan-kejutan yang terkadang menggeleparkan hatiku, sebisa mungkin kuserahkan dan kukembalikan kepada-Nya. Ujian-ujian itu yang akan menempaku, bagai sebongkah besi kusam yang dimasukkan ke bara api, dipukul-pukul, kemudian dicelupkan ke dalam air, begitu seterusnya hingga sebongkah besi itu menjadi pedang yang tajam. Allah selalu memberikan jalan kepada hambanya yang ingin selamat. Melalui ujian-ujian itu, Allah selalu menawarkan zat penawarnya jika manusia ingat pada penciptanya. Hanya manusia yang mendekatkan diri pada Allah yang akan mendapatkan zat penawar terbaik. Itu semua bertujuan agar manusia berpikir, dan memilih jalan menuju-Nya.
Kini, saya berdiri. Di sebuah ruang berukuran cukup besar yang dihuni oleh sejumlah siswa yang jumlahnya cukup banyak. Mereka adalah siswa kelas 5 Umar Bin Khattab. Mereka, benih-benih surga yang ditebarkan Allah di bumi ini, di madrasah ini untukku. Menjadi pengajar untuk mereka adalah sebuah amanah yang luar biasa. Latar belakang pendidikanku tak pernah mengenal madrasah-pendidikan islam. Disebut pengajar di madrasah ini dalam benakku adalah sebuah kekeliruan. Justru madrasah ini yang mengajarkanku banyak hal. Sayalah yang sebenarnya setiap hari sekolah, memungut ilmu-ilmu yang tercecer di sela-sela peranku di mata mereka. Wajah-wajah polos nan belia itu menyadarkanku, betapa lemah iman ini, betapa kalah hidupku ketika seumur mereka.
“Qiyyaaman!”
Aba-aba sang ketua kelas mengembalikan pikiran-pikiranku yang mengambang kembali ke syarafnya. Seketika semua siswa berdiri mendengar aba-aba itu.
“Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabaraakaatuh” Ucap salamku dengan senyum yang kutebar dengan tulus ke semua siswa. Pandangku mengarah rata ke satu-satu siswaku di kelas ini. Merekapun membalas salam serupa.
Di kelas inilah aku mengenal sosok Firdaus. Bocah kecil yang polos nan lugu. Aku melihatnya di deretan belakang dengan wajah menunduk.
Apa yang sekarang sedang kau rasakan dalam benakmu, Nak? Air mukamu menandakan ketidaknyamananmu atas keberadaanku di sini, di kelasmu.
Respon awal Firdaus membuat batinku tak nyaman. Aku seakan divonis oleh anak itu sebagai seorang pencuri. Mengambil posisi seseorang yang sangat ia sayangi. Ketidakrelaan itu tergambar jelas di wajahnya.
Belasan menit sudah aku berada di kelas itu, mengawali pelajaran dengan sebuah cerita. Aku sengaja menyelipkan nama Firdaus dalam ceritaku, agar bocah itu merasa diperhatikan olehku. Nihil. Aku tak berhasil menggugah hatinya. Dia tetap dingin.
Di tengah-tengah pelajaran, saat mereka mengerjakan tugas dariku, aku mencoba mendekati Firdaus. Dia terlihat sedang menulis. Bukan. Dia hanya mencat-coret bukunya dengan tinta spidol warna-warni.
“Kamu bisa mengerjakan tugasmu?” tanyaku hati-hati. Dia hanya menggeleng.
“Hmm, baiklah. Ustadzah ulangi lagi caranya agar kamu bisa.” Tanganku meraih buku Matematika yang teronggok di pojokan mejanya. Membuka halaman yang kumaksud. Namun, Firdaus tiba-tiba berdiri dari kursinya. Dia menengok ke arah luar kelas. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya di sana. Blass! Sosoknya seperti amblas dibawa angin ke luar kelas.


(Bersambung)

Sepenggal Senyum dari-Mu


Allah...
Hidayah dari-Mu adalah harta tak ternilai harganya. Bak sebentuk hadiah yang khusus Engkau berikan kepada hamba pilihan. Takaburkah Aku jika sepenggal senyum yang Engkau berikan-yang bisa kurasakan-adalah sebentuk hidayah dari-Mu?

Allah...
Selayaknya hadiah yang diberikan kepada orang terpilih, hidayah itu adalah sesuatu yang spesial, indah, dan terbaik. Sang pemberi hadiah itu pasti memiliki keinginan agar hadiah itu dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya, menjadikannya amal sholeh, dijaga, dan selalu bersyukur pada sang pemberinya. Namun, saat penerima hadiah itu lalai menjaganya, usanglah sudah si hadiah. Teronggok begitu saja tak terurus. Sudah hilanglah makna hadiah yang indah itu menjadi benda yang biasa-tak berharga. Jika si pemberi hadiah itu tahu hadiah darinya kini tak lagi bermanfaat, bahkan disia-siakan, tersayatlah hatinya.

Allah...
Akulah sang penerima hadiah Hidayah dari-Mu itu. Aku yang menyia-nyiakan hidayah terindah bagiku. Membiarkannya hilang meninggalkanku. Engkau Sang Pemberi Hidayah itu pastilah marah kepadaku, hingga Engkau mengambil hidayah itu. Kesadaranku utuh kembali saat hidayah tak ada lagi dalam genggamanku. Aku kehilangan ketenangan. Kehilangan kerinduan. Kehilangan kesejukan air mata. Kehilangan nikmat mengadu kepada-Mu. Kehilangan sepenggal senyum-Mu.

Allah...
Akulah manusia yang sempat menjadi kaki tangan syetan. Hatiku hitam dan membatu. Hingga pada saatnya aku sulit sekali mengenali diri ini, seakan sudah sangat berjubel syetan-syetan bersemayam. Syetan menertawaiku beramai-ramai, setelah aku melepaskan hidayah dari-Mu dan kemenangan mereka menumbangkan keimananku. Aku tersekat. Tersekat tabir yang begitu tebalnya dari-Mu ya Rabb. Bahkan sekarang sangat sulit sekali meresapi sepenggal senyum-Mu yang dulu bisa aku resapi dalam hati.

Allah...
Ampuni aku...ampuni kebiadaban diriku. Ampuni jiwaku yang telah membatu dan membusuk ini. Jiwa hina tiada tara. Air mataku hilang. Hatiku menghitam. Pikiranku mengental. Aku tak bisa lagi rasakan rindu kepada-Mu, kepada kekasih-Mu, kepada orang-orang yang mencintai-Mu. Sekat ini begitu tebal. Sekat yang terbuat dari kelalaianku pada-Mu.

Allah...
Aku kembali mengetuk pintu-Mu, berharap Engkau membukakan lagi untukku. Memberikanku sepenggal senyum seperti dulu pada setiap jawaban doa dan tangis yang kulantunkan untuk-Mu. Memberikanku rindu mengadu cinta kepada-Mu. Memberikanku ketenangan setiap deru cobaan menghadangku. Memberikanku kesempatan dekat dengan kekasih-Mu, mencintai yang dicintai oleh-Mu, dan menjadi keluarga-Mu.


Jumat, 13 Juli 2012

(Peri Kamboja of English Version)


The Frangipani Fairy
Helping of the Dwrf’s Palace
 
Creator: K. Usman
            The Frangipani Fairy flies between the leafy greens. In the wide road underside, the dwarfs stand in rows orderly.
            “One-two! One-two!”
            Those dwarfs walk  singing. “Please come soon the flower season. The beautiful season for all of us”
            The Yellow Drafs walks in the frontage. He sees the frangipani flower blossom in the edge of road. “Look at the flower! The flower is so fine-looking, it shapes like trumpet. It smells good and refresh.”
            “Lets we pick that flower!” the Black Dwarf asked.
            “What for?” said the Orange Dwarf mocking. “That is only the flower of cemetery. Hiiyy...I am frightened!” he said with pretending that he is frightened. The other dwarfs are smiling when they saw it.
            But, the White Dwarf said, “The Frangipani flower is not always as a shelter in the graveyard. Frangipani flower is also planted in the home garden and city gardens because the flower is very beautiful an fine-looking.”
            The Frangipani Fairy still flies above the dwarfs. She crawls between the leaves. She can hear clearly what the dwarfs saying. Is the Frangipani Fairy angry because Frangipani flower regarded as the flower of cemetery? No! The Frangipani Fairy is not angry, she even feels glad and proud.
***
            The flower fairies have been gathering under Kemuning’s tree.
            “Lets we compete to patch the fine rain,” the Yellow Magnolia Fairy asked.
            “It’s good idea,” the Fragrant Night Fairy answered.
            “But, how will we do it?”
            “We patch the fine rain which is in the air. It means, we do not collect the falling rain in the ground or on the leaves,” the Yellow Magnolia Fairy described. “So, who are collecting much water, she will be the winner.”
            “It’s so interesting,” the Fragnant Night Fairy answered.
            “Lets we start it!”
            “But, we do not have the jury yet,” the Magnolia Fairy said.
            “How about appoint the parrot to be the jury?” the Cananga Fairy suggested.
            The other flower fairies laugh out loud while they heard it.
            “Ha-ha-ha... . Hi-hi-hi... .”
            “The parrot like to immite. It is not proper to be the jury, right?” they answered.
            “That’s right? Someone who likes to imitate is easy to be affected by another.”
            “We can choose the Honey Bee Queen to be the jury,” the Rose Fairy recommended and the other flower fairies agree with her.
            Suddenly, the Fragnant Night Fairy realized that there is fairy missing. “Where is the Frangipani Fairy?” she asked. The other fairies are also realizing that.
            “Maybe she still dresses up,” said the Rose Fairy.
            “It would not be enchanting if the participants of this game are not complete,” the Cananga Fairy said. “It is better to go to the Frangipani Fairy’s house. We ask her to follow this game.”
            The flower fairies fly to the Frangipani Fairy’s house shortly. They fly with singing, “There are so many clouds in the sky. It is white like fish skeleton.”
            At the Frangipani Fairy’s house, they are surprised. The Frangipani Fairy has been fighting with the Black Dwarf.
            “Why are you dropping my flower off?” she said.
            “I just pick a bunch!” the Black Dwarf answered.
            “But, you do not permit,” the Frangipani Fairy said.
The Rose Fairy tries to separate the fighting. “Having fight is not good behavior. Why do not you end this fight an living in harmony? If you want to pick anything, you must permit to the owner first.”
            The Black Dwarf realizes his fault and apologizes to the Frangipani Fairy. Then, the Rose Fairy describe to the Frangipani Fairy that giving something to others is good deed. The Frangipani Fairy understand it. She is willing to forgive the Black Dwarf.
            “Now, lets we compete in the game of collecting the fine rain. Righ?” the Rose Fairy asked. The Frangipani Fairy is interested to follow it. But the Black Dwarf refuses it.
            “The game of collecting the fine rain is not exciting,” the Black Dwarf said.

...to be continue.. (^.^)