Air
mata ini menderai lembut di pipi tatkala kutatap senja yang perlahan temaram.
Gurat-gurat jingga merenda langit kala itu. Warnanya yang sendu semakin membuat
hati ini sembilu. Hanya bisa terisak dalam diam. Sunyi. Bulir-bulir air mata
menapaki kulit pipi hingga satu-satu meretas lepas.
Allaahu Akbar...Allaahu Akbar
Bola mata ini mengarah pandang ke
sebuah kubah kecil di antara atap-atap rumah yang berjejalan. Corong suara itu
mengarah tepat ke arahku. Ia seakan meneriakiku karena sedari tadi pandanganku
seolah kosong mengiringi surutnya mentari. Ya, hanya pandangku. Pikiranku
carut-marut. Perasaan penuh kecewa sedang berkecamuk di dalam relung ini. Ada kalimat-kalimat
yang sedari tadi terus merayapi batin ini.
“Ustadzah, Firdaus ngamuk lagi.”
“Firdaus tidak mau ikut pelajarannya
Ustadzah.”
“Ustadzah, Firdaus ke luar kelas
lagi.”
“Sudah lah, Ust tidak usah pedulikan
anak itu!”
“Firdaus kalau sudah marah seperti
itu, teriak-teriak dan memukul- mukul
meja.”
Asyhadu An Laa Ilaaha Illallaah
Apa yang sebenarnya terjadi dengan
satu siswaku itu? Firdaus. Dia siswa istimewa? Tidak. Dia sama seperti
teman-temannya. Kecerdasannya rata-rata dengan teman-temannya di kelas 5
Sekolah Dasar. Namun, emosinya yang membuatku selalu mengernyitkan dahi seusai
pelajaranku di kelasnya. Setiap langkahku meninggalkan kelasnya, perasaan kalah
membenamkanku dalam kekecewaan pada diriku sendiri. Perasaanku seakan didakwa
tidak bisa mengajar dengan baik, tidak bisa menguasai kelas, hingga ada satu
siswa yang kerap kali keluar kelas dengan mengamuk.
Lagi-lagi ada laporan dari wali
kelasnya, “Ustadzah, tadi Firdaus tidak ikut pelajaran Antum lagi, ya? ‘Afwan, sudah saya bujuk dia untuk masuk kelas,
tetapi dia tetap tidak mau. ‘Afwan sekali lagi, Firdaus tidak mau diajar oleh Antum.”
Asyhadu Anna Muhammadar
Rasuulullaah
Nafasku sontak berhenti sejenak.
Kalimat terakhir yang diucapkan wali kelasnya itu sekejap memenuhi pikiran dan
batinku. Menyesakkan. Tak ada respon dariku selama beberapa menit, hingga
beliau pun beranjak pergi dari hadapanku. Segera kutersadar dari kekacauan.
Kulangkahkan kaki mendahuluinya. Ada satu pertanyaan besar di pikiranku tentang
Firdaus.
“Ada apa dengan Firdaus? Atau ada yang
salah dari cara pengajaranku di mata Firdaus?” telisikku pada wali kelasnya
itu.
Hayya ‘Alash-Shalaah
Beliau
hanya mengalihkan pandangan matanya, kemudian...
“Begini Ustadzah, Firdaus itu kecewa
karena pelajaran favoritnya tidak lagi diajarkan oleh Ustadzah Sarah dan
digantikan oleh Antum. Saran saya, Antum dekati Firdaus. Dia sedikit
berbeda dalam emosional dibandingkan teman-temannya. Maka dari itu, Antum pun harus dekati dia secara
emosional. Raih hatinya, Ustadzah.”
“Maaf, saya tidak tahu banyak tentang
Firdaus.”
“Dulu, saat Firdaus masih kelas 2,
Ustadzah Sarah sangat dekat dengan Firdaus. Saya pun sering melihat Ustadzah
Sarah mendudukkan Firdaus di pangkuannya, menggandeng tangannya saat berjalan,
atau mengelus kepalanya. Perlakuan itu yang membuat Firdaus begitu menyenangi
Ustadzah Sarah.”
Hayya ‘Alal-Falaah
Beliau menjeda kalimatnya. Menghela
nafas, kemudian melanjutkannya.
“Sekarang, Antum yang menggantikan Ustadzah Sarah. Siswa-siswa kelas 5 senang
menyambut guru baru seperti Antum,
karena saya melihat keceriaan di wajah mereka. Mereka mengerti dengan
kealamiahan pengajaran seperti ini. Namun, berbeda dengan Firdaus. Dia kecewa. Dia
adalah tipe anak yang susah sekali membagi hati. Jika dia sudah senang dengan
satu orang, maka dia tidak mau melepaskan orang itu.”
Allaahu Akbar...Allaahu Akbar
Laa Ilaaha Illallaah
Panggilan Adzan telah usai, segera
kuseka bekas air mata ini yang mulai mengering. Kututup jendela kamar. Sebelumnya
sempat kutengok gurat senja yang semakin menua warnanya.
Dia
adalah tipe anak yang susah sekali membagi hati. Jika dia sudah senang dengan
satu orang, maka dia tidak mau melepaskan orang itu.
Kalimat itu seakan enggan untuk enyah
dari lingkaran pikiranku. Berputar dan terus berulang. Kupaksakan untuk tak
pedulikan tentang Firdaus dulu, sekarang adalah waktu-Mu.
Kau
memanggilku untuk bicara, suaraku pelan.
Segera kuambil air wudhu. Kubentangkan
sajadah hijauku menghadap-Mu. Kuhadapkan tubuhku kepada-Mu, menyerahkan segenap
jiwa, raga, dan urusanku. Kini, aku bersama-Mu. Kuharapkan petunjuk-Mu. Wahai
Rabb Sang Pemilik hati setiap insan, Engkau anugerahkan kepadaku sebuah amanah
yang Engkau titipkan di sana. Merekalah benih-benih surga yang Engkau tebar di
bumi. Izinkan aku untuk merawat, menjaga, dan menumbuhkan benih-benih itu dengan
petunjuk-Mu agar kelak dapat menjadi benih surga bagiku di tanah Akhirat-Mu.
Segala tentang Firdaus kucurahkan
semua kepada-Nya, satu-satu kuuraikan hingga hatiku merasa segala beban yang
mendesak sesak di hati seakan terbang ringan bagai kapas terhempas angin. Kulantunkan
salawat nabi untuk meredamkan hatiku. Terus kulantunkan, hingga hati ini
kembali nyaman.
~
Semburat sinar pagi menyusup dari
balik daun-daun. Hari yang hangat. Semoga inilah hari yang benar-benar
membuatku hangat di madrasah ini. Dengan langkah ringan, kususuri jalan dengan
sumringah. Setiap berpapasan dengan orang, kuucapkan salam dengan kesungguhan, Assalamu’alaikum.
Kumantapkan hati dan fokuskan pikiran.
Aku ingin menang hari ini, bissmillah. Sejenak kupenjamkan mataku,
menghubungkan sinyal keimananku pada keesaan-Nya. Hingga sebentuk garis
lengkung refleks menghias di kedua bibirku. Tak terasa beberapa langkah lagi
kakiku sudah masuk area madrasah tempatku ditempa. Ya, Allah menempatkan
hambanya pasti dengan misi tertentu. Segala ujian yang datang padaku berupa
kejutan-kejutan yang terkadang menggeleparkan hatiku, sebisa mungkin kuserahkan
dan kukembalikan kepada-Nya. Ujian-ujian itu yang akan menempaku, bagai
sebongkah besi kusam yang dimasukkan ke bara api, dipukul-pukul, kemudian
dicelupkan ke dalam air, begitu seterusnya hingga sebongkah besi itu menjadi
pedang yang tajam. Allah selalu memberikan jalan kepada hambanya yang ingin
selamat. Melalui ujian-ujian itu, Allah selalu menawarkan zat penawarnya jika
manusia ingat pada penciptanya. Hanya manusia yang mendekatkan diri pada Allah
yang akan mendapatkan zat penawar terbaik. Itu semua bertujuan agar manusia
berpikir, dan memilih jalan menuju-Nya.
Kini, saya berdiri. Di sebuah ruang
berukuran cukup besar yang dihuni oleh sejumlah siswa yang jumlahnya cukup
banyak. Mereka adalah siswa kelas 5 Umar Bin Khattab. Mereka, benih-benih surga
yang ditebarkan Allah di bumi ini, di madrasah ini untukku. Menjadi pengajar
untuk mereka adalah sebuah amanah yang luar biasa. Latar belakang pendidikanku
tak pernah mengenal madrasah-pendidikan islam. Disebut pengajar di madrasah ini
dalam benakku adalah sebuah kekeliruan. Justru madrasah ini yang mengajarkanku
banyak hal. Sayalah yang sebenarnya setiap hari sekolah, memungut ilmu-ilmu
yang tercecer di sela-sela peranku di mata mereka. Wajah-wajah polos nan belia
itu menyadarkanku, betapa lemah iman ini, betapa kalah hidupku ketika seumur
mereka.
“Qiyyaaman!”
Aba-aba sang ketua kelas mengembalikan
pikiran-pikiranku yang mengambang kembali ke syarafnya. Seketika semua siswa
berdiri mendengar aba-aba itu.
“Assalamu’alaikum warahmatullaahi
wabaraakaatuh” Ucap salamku dengan senyum yang kutebar dengan tulus ke semua
siswa. Pandangku mengarah rata ke satu-satu siswaku di kelas ini. Merekapun
membalas salam serupa.
Di kelas inilah aku mengenal sosok Firdaus.
Bocah kecil yang polos nan lugu. Aku melihatnya di deretan belakang dengan
wajah menunduk.
Apa
yang sekarang sedang kau rasakan dalam benakmu, Nak? Air mukamu menandakan
ketidaknyamananmu atas keberadaanku di sini, di kelasmu.
Respon awal Firdaus membuat batinku tak
nyaman. Aku seakan divonis oleh anak itu sebagai seorang pencuri. Mengambil
posisi seseorang yang sangat ia sayangi. Ketidakrelaan itu tergambar jelas di
wajahnya.
Belasan menit sudah aku berada di kelas
itu, mengawali pelajaran dengan sebuah cerita. Aku sengaja menyelipkan nama
Firdaus dalam ceritaku, agar bocah itu merasa diperhatikan olehku. Nihil. Aku
tak berhasil menggugah hatinya. Dia tetap dingin.
Di tengah-tengah pelajaran, saat mereka
mengerjakan tugas dariku, aku mencoba mendekati Firdaus. Dia terlihat sedang
menulis. Bukan. Dia hanya mencat-coret bukunya dengan tinta spidol warna-warni.
“Kamu bisa mengerjakan tugasmu?” tanyaku
hati-hati. Dia hanya menggeleng.
“Hmm, baiklah. Ustadzah ulangi lagi caranya
agar kamu bisa.” Tanganku meraih buku Matematika yang teronggok di pojokan
mejanya. Membuka halaman yang kumaksud. Namun, Firdaus tiba-tiba berdiri dari
kursinya. Dia menengok ke arah luar kelas. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya
di sana. Blass! Sosoknya seperti amblas dibawa angin ke luar kelas.
(Bersambung)
wah,,, mbak di sekarang udah jadi ustadzah, kalo gitu saya juga jadi ustadz ah... ^____^
BalasHapusSepertinya sy kenal siapa Antum...(^.^)
BalasHapusTerima kasih sdh membacanya.
ustadzah ... ^^)/
BalasHapus