Kamis, 12 September 2013

Salam Manis Untuk Ustadzahku



Air mata ini menderai lembut di pipi tatkala kutatap senja yang perlahan temaram. Gurat-gurat jingga merenda langit kala itu. Warnanya yang sendu semakin membuat hati ini sembilu. Hanya bisa terisak dalam diam. Sunyi. Bulir-bulir air mata menapaki kulit pipi hingga satu-satu meretas lepas.

Allaahu Akbar...Allaahu Akbar

          Bola mata ini mengarah pandang ke sebuah kubah kecil di antara atap-atap rumah yang berjejalan. Corong suara itu mengarah tepat ke arahku. Ia seakan meneriakiku karena sedari tadi pandanganku seolah kosong mengiringi surutnya mentari. Ya, hanya pandangku. Pikiranku carut-marut. Perasaan penuh kecewa sedang berkecamuk di dalam relung ini. Ada kalimat-kalimat yang sedari tadi terus merayapi batin ini.
          “Ustadzah, Firdaus ngamuk lagi.”
          “Firdaus tidak mau ikut pelajarannya Ustadzah.”
          “Ustadzah, Firdaus ke luar kelas lagi.”
          “Sudah lah, Ust tidak usah pedulikan anak itu!”
          “Firdaus kalau sudah marah seperti itu, teriak-teriak dan memukul-     mukul meja.”

Asyhadu An Laa Ilaaha Illallaah

          Apa yang sebenarnya terjadi dengan satu siswaku itu? Firdaus. Dia siswa istimewa? Tidak. Dia sama seperti teman-temannya. Kecerdasannya rata-rata dengan teman-temannya di kelas 5 Sekolah Dasar. Namun, emosinya yang membuatku selalu mengernyitkan dahi seusai pelajaranku di kelasnya. Setiap langkahku meninggalkan kelasnya, perasaan kalah membenamkanku dalam kekecewaan pada diriku sendiri. Perasaanku seakan didakwa tidak bisa mengajar dengan baik, tidak bisa menguasai kelas, hingga ada satu siswa yang kerap kali keluar kelas dengan mengamuk.
          Lagi-lagi ada laporan dari wali kelasnya, “Ustadzah, tadi Firdaus tidak ikut pelajaran Antum lagi, ya? ‘Afwan, sudah saya bujuk dia untuk masuk kelas, tetapi dia tetap tidak mau. ‘Afwan sekali lagi, Firdaus tidak mau diajar oleh Antum.”

Asyhadu Anna Muhammadar Rasuulullaah

          Nafasku sontak berhenti sejenak. Kalimat terakhir yang diucapkan wali kelasnya itu sekejap memenuhi pikiran dan batinku. Menyesakkan. Tak ada respon dariku selama beberapa menit, hingga beliau pun beranjak pergi dari hadapanku. Segera kutersadar dari kekacauan. Kulangkahkan kaki mendahuluinya. Ada satu pertanyaan besar di pikiranku tentang Firdaus.
          “Ada apa dengan Firdaus? Atau ada yang salah dari cara pengajaranku di mata Firdaus?” telisikku pada wali kelasnya itu.

Hayya ‘Alash-Shalaah

Beliau hanya mengalihkan pandangan matanya, kemudian...
          “Begini Ustadzah, Firdaus itu kecewa karena pelajaran favoritnya tidak lagi diajarkan oleh Ustadzah Sarah dan digantikan oleh Antum. Saran saya, Antum dekati Firdaus. Dia sedikit berbeda dalam emosional dibandingkan teman-temannya. Maka dari itu, Antum pun harus dekati dia secara emosional. Raih hatinya, Ustadzah.”
          “Maaf, saya tidak tahu banyak tentang Firdaus.”
          “Dulu, saat Firdaus masih kelas 2, Ustadzah Sarah sangat dekat dengan Firdaus. Saya pun sering melihat Ustadzah Sarah mendudukkan Firdaus di pangkuannya, menggandeng tangannya saat berjalan, atau mengelus kepalanya. Perlakuan itu yang membuat Firdaus begitu menyenangi Ustadzah Sarah.”

Hayya ‘Alal-Falaah

          Beliau menjeda kalimatnya. Menghela nafas, kemudian melanjutkannya.
          “Sekarang, Antum yang menggantikan Ustadzah Sarah. Siswa-siswa kelas 5 senang menyambut guru baru seperti Antum, karena saya melihat keceriaan di wajah mereka. Mereka mengerti dengan kealamiahan pengajaran seperti ini. Namun, berbeda dengan Firdaus. Dia kecewa. Dia adalah tipe anak yang susah sekali membagi hati. Jika dia sudah senang dengan satu orang, maka dia tidak mau melepaskan orang itu.”

Allaahu Akbar...Allaahu Akbar
Laa Ilaaha Illallaah

          Panggilan Adzan telah usai, segera kuseka bekas air mata ini yang mulai mengering. Kututup jendela kamar. Sebelumnya sempat kutengok gurat senja yang semakin menua warnanya.
          Dia adalah tipe anak yang susah sekali membagi hati. Jika dia sudah senang dengan satu orang, maka dia tidak mau melepaskan orang itu.
          Kalimat itu seakan enggan untuk enyah dari lingkaran pikiranku. Berputar dan terus berulang. Kupaksakan untuk tak pedulikan tentang Firdaus dulu, sekarang adalah waktu-Mu.
          Kau memanggilku untuk bicara, suaraku pelan.
          Segera kuambil air wudhu. Kubentangkan sajadah hijauku menghadap-Mu. Kuhadapkan tubuhku kepada-Mu, menyerahkan segenap jiwa, raga, dan urusanku. Kini, aku bersama-Mu. Kuharapkan petunjuk-Mu. Wahai Rabb Sang Pemilik hati setiap insan, Engkau anugerahkan kepadaku sebuah amanah yang Engkau titipkan di sana. Merekalah benih-benih surga yang Engkau tebar di bumi. Izinkan aku untuk merawat, menjaga, dan menumbuhkan benih-benih itu dengan petunjuk-Mu agar kelak dapat menjadi benih surga bagiku di tanah Akhirat-Mu.
          Segala tentang Firdaus kucurahkan semua kepada-Nya, satu-satu kuuraikan hingga hatiku merasa segala beban yang mendesak sesak di hati seakan terbang ringan bagai kapas terhempas angin. Kulantunkan salawat nabi untuk meredamkan hatiku. Terus kulantunkan, hingga hati ini kembali nyaman.
~
          Semburat sinar pagi menyusup dari balik daun-daun. Hari yang hangat. Semoga inilah hari yang benar-benar membuatku hangat di madrasah ini. Dengan langkah ringan, kususuri jalan dengan sumringah. Setiap berpapasan dengan orang, kuucapkan salam dengan kesungguhan, Assalamu’alaikum.
          Kumantapkan hati dan fokuskan pikiran. Aku ingin menang hari ini, bissmillah. Sejenak kupenjamkan mataku, menghubungkan sinyal keimananku pada keesaan-Nya. Hingga sebentuk garis lengkung refleks menghias di kedua bibirku. Tak terasa beberapa langkah lagi kakiku sudah masuk area madrasah tempatku ditempa. Ya, Allah menempatkan hambanya pasti dengan misi tertentu. Segala ujian yang datang padaku berupa kejutan-kejutan yang terkadang menggeleparkan hatiku, sebisa mungkin kuserahkan dan kukembalikan kepada-Nya. Ujian-ujian itu yang akan menempaku, bagai sebongkah besi kusam yang dimasukkan ke bara api, dipukul-pukul, kemudian dicelupkan ke dalam air, begitu seterusnya hingga sebongkah besi itu menjadi pedang yang tajam. Allah selalu memberikan jalan kepada hambanya yang ingin selamat. Melalui ujian-ujian itu, Allah selalu menawarkan zat penawarnya jika manusia ingat pada penciptanya. Hanya manusia yang mendekatkan diri pada Allah yang akan mendapatkan zat penawar terbaik. Itu semua bertujuan agar manusia berpikir, dan memilih jalan menuju-Nya.
Kini, saya berdiri. Di sebuah ruang berukuran cukup besar yang dihuni oleh sejumlah siswa yang jumlahnya cukup banyak. Mereka adalah siswa kelas 5 Umar Bin Khattab. Mereka, benih-benih surga yang ditebarkan Allah di bumi ini, di madrasah ini untukku. Menjadi pengajar untuk mereka adalah sebuah amanah yang luar biasa. Latar belakang pendidikanku tak pernah mengenal madrasah-pendidikan islam. Disebut pengajar di madrasah ini dalam benakku adalah sebuah kekeliruan. Justru madrasah ini yang mengajarkanku banyak hal. Sayalah yang sebenarnya setiap hari sekolah, memungut ilmu-ilmu yang tercecer di sela-sela peranku di mata mereka. Wajah-wajah polos nan belia itu menyadarkanku, betapa lemah iman ini, betapa kalah hidupku ketika seumur mereka.
“Qiyyaaman!”
Aba-aba sang ketua kelas mengembalikan pikiran-pikiranku yang mengambang kembali ke syarafnya. Seketika semua siswa berdiri mendengar aba-aba itu.
“Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabaraakaatuh” Ucap salamku dengan senyum yang kutebar dengan tulus ke semua siswa. Pandangku mengarah rata ke satu-satu siswaku di kelas ini. Merekapun membalas salam serupa.
Di kelas inilah aku mengenal sosok Firdaus. Bocah kecil yang polos nan lugu. Aku melihatnya di deretan belakang dengan wajah menunduk.
Apa yang sekarang sedang kau rasakan dalam benakmu, Nak? Air mukamu menandakan ketidaknyamananmu atas keberadaanku di sini, di kelasmu.
Respon awal Firdaus membuat batinku tak nyaman. Aku seakan divonis oleh anak itu sebagai seorang pencuri. Mengambil posisi seseorang yang sangat ia sayangi. Ketidakrelaan itu tergambar jelas di wajahnya.
Belasan menit sudah aku berada di kelas itu, mengawali pelajaran dengan sebuah cerita. Aku sengaja menyelipkan nama Firdaus dalam ceritaku, agar bocah itu merasa diperhatikan olehku. Nihil. Aku tak berhasil menggugah hatinya. Dia tetap dingin.
Di tengah-tengah pelajaran, saat mereka mengerjakan tugas dariku, aku mencoba mendekati Firdaus. Dia terlihat sedang menulis. Bukan. Dia hanya mencat-coret bukunya dengan tinta spidol warna-warni.
“Kamu bisa mengerjakan tugasmu?” tanyaku hati-hati. Dia hanya menggeleng.
“Hmm, baiklah. Ustadzah ulangi lagi caranya agar kamu bisa.” Tanganku meraih buku Matematika yang teronggok di pojokan mejanya. Membuka halaman yang kumaksud. Namun, Firdaus tiba-tiba berdiri dari kursinya. Dia menengok ke arah luar kelas. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya di sana. Blass! Sosoknya seperti amblas dibawa angin ke luar kelas.


(Bersambung)

3 komentar:

  1. wah,,, mbak di sekarang udah jadi ustadzah, kalo gitu saya juga jadi ustadz ah... ^____^

    BalasHapus
  2. Sepertinya sy kenal siapa Antum...(^.^)
    Terima kasih sdh membacanya.

    BalasHapus