Kamis, 12 Juli 2012

Apakah Segala Urusanmu Sudah Kau Libatkan Allah?*

Ilustrasi (inet)
Bismillah
Lagi-lagi tema kita seputar percintaan. Namun, Insya Allah sudut pandangnya di sini sedikit berbeda. Saya akan awali sajian kali ini dengan sebuah kisah.
“De, apakah Adek bersedia menjalani taaruf dengan Mas? Bila Adek butuh waktu untuk menjawabnya, silahkan, Mas tunggu jawabannya dengan segala pertimbangan Adek.”
“Hmm, iya Mas. Hal ini perlu Ana pikirkan dan bicarakan dulu dengan Ibu Ana. Insya Allah, Ana akan jawab seminggu ke depan.”
Sms pun diakhiri dengan salam. Sang Akhwat sangat takjub dan berdebar hatinya saat mendapat permintaan itu. Apalagi permintaan sebuah hubungan kedewasaan yang saat ini usianya sudah cukup matang. Akhwat ini belum lama berhijab dan sedang mendekatkan diri pada Allah. Dia merasa doanya terkabulkan setelah sekian lama berdoa agar didatangkan seorang Ikhwan yang mau mengajaknya menjalin hubungan dengan proses yang syar’i.
Beberapa hari kemudian, sang akhwat menceritakan itikad sang Ikhwan pada Ibundanya. Diceritakanlah semua hal yang ditanyakan Ibundanya perihal bibit, bebet, dan bobot sang Ikhwan berdasarkan hasil interviewnya pada seorang teman dekat Ikhwan. Ibundanya pun menjawab, “Alhamdulillah, perkenalkan Ibu pada Ikhwan itu.” Itulah kalimat persetujuan Ibunda.
Kalimat itu pula yang mengantarkan sang Akhwat mengabarkan berita gembira untuk Ikhwan. Betapa bersyukurnya sang Ikhwan mendapat jawaban itu. Saat itu pula sang Ikhwan dapat berkomunikasi dengan Ibunda sang Akhwat. Dimulailah suatu pertalian taaruf yang di dalamnya ada peran perantara seorang Ibu. Jadi, Insya Allah hubungannya pun jauh dari aroma pacaran.
Beberapa bulan pun berlalu. Selama jalinan itu, komunikasi Ikhwan-Akhwat itu sekedarnya. Itupun sepengetahuan Ibunda Akhwat. Bahkan, sang Ikhwan lebih banyak berkomunikasi dengan Ibunda Akhwat.
Mulailah ada perasaan tak nyaman dalam hati Akhwat. Benaknya pun berkata, “Ya Allah, aku menjalani hubungan ini karena aku tahu dia baik dan Insya Allah agamanya pun sempurna. Kau pun tahu, aku tak mempertimbangkan perasaan alami yang tak kunjung tumbuh dalam hati ini. Namun, mengapa hati ini seakan terus menolaknya?”
Tak hanya gejolak perasaan saja yang dialami sang Akhwat, perdebatan panjang pun kerap terjadi, bahkan sering melibatkan sang Bunda. Hingga pada suatu ketika, sang Akhwat menginginkan disudahi jalinan taaruf mereka dengan alasan tak ada ‘klik’ dengan Ikhwan. Namun, permohonan itu ditolak oleh sang Ikhwan dan Ibundanya sendiri dengan alasan “Terlalu egois jika kamu hanya mementingkan perasaanmu itu.” Hal itupun yang membuat Ibundanya merasa sakit dan kecewa pada Akhwat karena ketidakjujuran perasaannya pada Ikhwan. Tak ada pilihan lain kecuali tetap menjalin hubungan dengan Ikhwan dan mengikuti apapun kemauan Ibundanya walau perasaan akhwat serasa dicabik-cabik karena kesalahannya sendiri.
Akhwat pun mengadu pada Allah, hingga ia menemukan sebuah kesalahan yang awalnya dianggap sepele. Ya, di awal masa sebelum menyepakati hubungannya ia melalaikan Allah. Walaupun ia sudah mencari keridhaan Ibundanya, tetapi ia tidak melibatkan Allah di sana. Ia lalai tidak bersepakat dengan Allah dengan salat Istikharah.
Itulah sepenggal kisah tentang ridha Allah, ridha orang tua, dan ketidakjujuran. Walaupun urusan itu menyangkut dunia akherat, orang tua meridhai tetapi lupa melibatkan Allah, proses dan hasilnya pun tidak akan baik. Shalat Istikharah adalah salah satu cara mencari kesepakatan dan keridhaan Allah. Semua urusan bersumber dari Allah, baik buruk, kecil besar, penting dan kurang penting, jika dalam hati menyimpan keraguan sekecil apapun, mintalah petunjuk dari Allah. Walaupun urusan itu sudah terlihat baik dan sesuai koridor, alangkah lebih bijak jika memantapkannya dengan mencari restu Allah agar urusan itu lebih banyak mendatangkan barokah.
Semoga bermanfaat. Wallahu‘alam Bishshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar