Ilustrasi (inet) |
Bismillah
Lagi-lagi
tema kita seputar percintaan. Namun, Insya Allah sudut pandangnya di sini
sedikit berbeda. Saya akan awali sajian kali ini dengan sebuah kisah.
“De,
apakah Adek bersedia menjalani taaruf dengan Mas? Bila Adek butuh waktu untuk
menjawabnya, silahkan, Mas tunggu jawabannya dengan segala pertimbangan Adek.”
“Hmm,
iya Mas. Hal ini perlu Ana pikirkan dan bicarakan dulu dengan Ibu Ana. Insya
Allah, Ana akan jawab seminggu ke depan.”
Sms
pun diakhiri dengan salam. Sang Akhwat sangat takjub dan berdebar hatinya saat
mendapat permintaan itu. Apalagi permintaan sebuah hubungan kedewasaan yang
saat ini usianya sudah cukup matang. Akhwat ini belum lama berhijab dan sedang
mendekatkan diri pada Allah. Dia merasa doanya terkabulkan setelah sekian lama
berdoa agar didatangkan seorang Ikhwan yang mau mengajaknya menjalin hubungan
dengan proses yang syar’i.
Beberapa
hari kemudian, sang akhwat menceritakan itikad sang Ikhwan pada Ibundanya.
Diceritakanlah semua hal yang ditanyakan Ibundanya perihal bibit, bebet, dan
bobot sang Ikhwan berdasarkan hasil interviewnya pada seorang teman dekat
Ikhwan. Ibundanya pun menjawab, “Alhamdulillah, perkenalkan Ibu pada Ikhwan
itu.” Itulah kalimat persetujuan Ibunda.
Kalimat
itu pula yang mengantarkan sang Akhwat mengabarkan berita gembira untuk Ikhwan.
Betapa bersyukurnya sang Ikhwan mendapat jawaban itu. Saat itu pula sang Ikhwan
dapat berkomunikasi dengan Ibunda sang Akhwat. Dimulailah suatu pertalian
taaruf yang di dalamnya ada peran perantara seorang Ibu. Jadi, Insya Allah
hubungannya pun jauh dari aroma pacaran.
Beberapa
bulan pun berlalu. Selama jalinan itu, komunikasi Ikhwan-Akhwat itu sekedarnya.
Itupun sepengetahuan Ibunda Akhwat. Bahkan, sang Ikhwan lebih banyak berkomunikasi
dengan Ibunda Akhwat.
Mulailah
ada perasaan tak nyaman dalam hati Akhwat. Benaknya pun berkata, “Ya Allah, aku
menjalani hubungan ini karena aku tahu dia baik dan Insya Allah agamanya pun
sempurna. Kau pun tahu, aku tak mempertimbangkan perasaan alami yang tak
kunjung tumbuh dalam hati ini. Namun, mengapa hati ini seakan terus menolaknya?”
Tak
hanya gejolak perasaan saja yang dialami sang Akhwat, perdebatan panjang pun
kerap terjadi, bahkan sering melibatkan sang Bunda. Hingga pada suatu ketika,
sang Akhwat menginginkan disudahi jalinan taaruf mereka dengan alasan tak ada
‘klik’ dengan Ikhwan. Namun, permohonan itu ditolak oleh sang Ikhwan dan
Ibundanya sendiri dengan alasan “Terlalu egois jika kamu hanya mementingkan
perasaanmu itu.” Hal itupun yang membuat Ibundanya merasa sakit dan kecewa pada
Akhwat karena ketidakjujuran perasaannya pada Ikhwan. Tak ada pilihan lain
kecuali tetap menjalin hubungan dengan Ikhwan dan mengikuti apapun kemauan
Ibundanya walau perasaan akhwat serasa dicabik-cabik karena kesalahannya
sendiri.
Akhwat
pun mengadu pada Allah, hingga ia menemukan sebuah kesalahan yang awalnya
dianggap sepele. Ya, di awal masa sebelum menyepakati hubungannya ia melalaikan
Allah. Walaupun ia sudah mencari keridhaan Ibundanya, tetapi ia tidak
melibatkan Allah di sana. Ia lalai tidak bersepakat dengan Allah dengan salat
Istikharah.
Itulah
sepenggal kisah tentang ridha Allah, ridha orang tua, dan ketidakjujuran.
Walaupun urusan itu menyangkut dunia akherat, orang tua meridhai tetapi lupa
melibatkan Allah, proses dan hasilnya pun tidak akan baik. Shalat Istikharah
adalah salah satu cara mencari kesepakatan dan keridhaan Allah. Semua urusan
bersumber dari Allah, baik buruk, kecil besar, penting dan kurang penting, jika
dalam hati menyimpan keraguan sekecil apapun, mintalah petunjuk dari Allah. Walaupun
urusan itu sudah terlihat baik dan sesuai koridor, alangkah lebih bijak jika
memantapkannya dengan mencari restu Allah agar urusan itu lebih banyak
mendatangkan barokah.
Semoga
bermanfaat. Wallahu‘alam Bishshawab
*pernah terbit dalam www.dakwatuna.com, silahkan klik link
berikut http://www.dakwatuna.com/2012/05/20271/apakah-segala-urusanmu-sudah-kau-libatkan-allah-swt/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar