Kamis, 12 Juli 2012

Embun Jiwa Rabbani


Ilustrasi (ibh3.wordpress.com)
“Dunia adalah perhiasan, sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.”(H.R. Muslim)
1/26 >> Ustazah Hanifah

“Aku masih ingin berlama-lama di sini. Di luar sana, pasti akan ada yang mengoyakkan hati ini, sangat sulit hatiku merasakan sejuk daun fajar yang terlapisi embun saat lepas dari tempat ini bersamamu, ustazah.”
“Siapa nih yang mau baca doa rabithah sebelum majelis ini kita tutup? Elmira?”
“Ya ustazah?,” terperanjat dengan nada kaget sesaat setelah jiwa dan pikiranya berdialog sendiri tentang kenyamanan hatinya berkumpul bersama teman dan murabbinya.
“Sedang memikirkan apa, to? Kok kaget gitu? Ayo, Elmira yang pimpin doa rabithahnya ya?”
“Hehe, iya ustazah. Bismillahirrohmaanirrohiim, mari kita tundukan hati kita pada Allah SWT.”
Elmira, Ustazah Hanifah, dan tiga temannya yang lain terlihat khusuk berdoa. Mereka duduk melingkar di lantai sebuah Masjid dengan menengadahkan tangan, kepala tertunduk, mata terpejam, dan badan sedikit condong ke depan. Suasana yang sangat sejuk. Terdengar lirih suara Elmira memanjatkan doa rabithah dengan fasih, yaitu doa pengikat hati yang terdapat dalam surat Ali Imran ayat 26 dan 27. Doa yang selalu dipanjatkan sebelum mereka berpisah dalam sebuah halaqah1 agar jiwa ini selalu diingatkan akan kekuasaan Allah yang Esa.
Selesai Elmira membaca doa, halaqoh mereka pun diakhiri sore itu. Tanpa lupa ustazah Hanifah memberikan selembar lipatan kertas kecil pada masing-masing adik didikannya. Itulah salah satu kebiasaan Ustazah yang selalu berusaha agar adik-adiknya selalu istiqomah menjaga iman mereka.
Satu per satu mereka berpamitan satu sama lain. Hingga tersisa Elmira dan Murabbinya yang belum beranjak pergi.
“Ada apa denganmu, sholehah? Memikirkan apa tadi?” tanya Ustazah dengan senyum sambil mengeser posisi duduknya tepat berhadapan dengan Elmira. Kedua lutut mereka pun bersentuhan.
“Mira masih mau di sini, ustazah. Mira males pulang. Mira merasa menjadi orang lain kalau sudah keluar dari tempat ini.” Jawab Elmira dengan pandangan tertunduk.
“Ceritakan saja, Mira. Mira percaya sama ustazah?”
Mira mengangguk pelan kemudian mulai bercerita.
“Mira masih sering merasa tidak nyaman memakai pakaian serba lebar dan jilbab yang teralu besar ini, ustazah. Di sekolah, masih ada saja teman yang bilang ‘mau pengajian bu Haji?’ sambil terkekeh menertawakan Mira. Teman-teman perempuan Mira pun semakin enggan bersama Mira, mereka pernah nyeletuk ‘Kita manusia biasa bukan manusia langit, maaf aja kalau sering khilaf. Jilbab sih nanti dulu, yang penting hati dulu yang dijilbabi. Mira hanya bisa diam ustazah. Mira bingung harus berkata bagaimana kepada mereka. Mira juga masih merasa sering lalai, bukan manusia langit seperti kata mereka.”
Mira terdiam sesaat kemudian meneruskan kata-katanya.
“Ustazah, boleh Mira mengecilkan baju-baju Mira dan memendekan jilbab Mira?”
“Ustazah boleh bertanya dulu? Kenapa Mira mau pake baju dan jilbab lebar ini?” tanya ustazah dengan mengelus jilbab dan baju Mira.
“Karena Mira melihat ustazah dan semua santriwati di sini. Dengan pakaian seperti ini, mereka terlihat sangat cantik dan sejuk. Apalagi setelah ustazah mengajak Mira masuk ke dalam halaqah ini. Mira pun berpikir harus memakai pakaian yang seperti ini.”
“Hanya itu Mira?”
“Tidak ustazah. Ada lagi. Setelah ustazah bilang kalau setiap perempuan muslim wajib mengulurkan jilbabnya menutupi dadanya, Mira jadi lebih tahu kalau Mira harus selalu pakai jilbab. Tapi, kenapa harus serba lebar seperti ini, ustazah?”
“Aurat perempuan bukan hanya sekedar permukaan kulit yang haram dilihat oleh orang yang bukan mahram kita. Manusia mempunyai akal untuk berpikir bahkan berimajinasi. Imajinasi manusia bisa menembus batas yang tidak terlihat secara permukaan. Maukah kita kaum perempuan ditelanjangi dengan imajinasi mereka karena pakaian kita yang membentuk lekuk tubuh? Ikhlaskah hati kita diperlakukan diam-diam seperti itu? Mungkin kita akan mengatakan ‘Ya itu dosa bagi mereka yang berpikiran kotor, kita kan sudah menjalankan perintah untuk menutup aurat, di perintahnya juga tidak tertera larangan membentuk lekuk tubuh.’ Perempuan dianugerahi oleh Allah dengan bentuk tubuh yang indah dan Allah mewajibkan kita untuk menutupinya. Tujuan untuk menutup aurat itu agar tidak menimbulkan fitnah berupa syahwat bagi orang yang melihatnya. Kalau kita melihat seorang perempuan dengan pakaian ketat, apakah auratnya benar-benar tertutupi dan tidak menimbulkan syahwat? Lebih aman yang mana antara perempuan yang berpakaian ketat dengan orang yang berpakaian longgar?”
“Ya ustazah, Mira mengerti. Mira juga tak akan terlalu ketat memakai bajunya dan Mira juga sudah berjanji pada Allah akan terus memakai rok.”
“Dan janji Mira itu sekarang disaksikan oleh ustazah,” sambung ustazah sambil menatap wajah Mira dengan senyum seakan mengajak senyum adik didikannya yang memiliki wajah putih dengan mata bulat yang selalu berbinar-seakan ada cahaya di matanya. Mira pun ikut tersenyum memperlihatkan gigi putihnya yang tersusun rapi.
Ponsel ustazah Hanifah berdering. Rupanya ada telepon dari suaminya. Ustazah Hanifah memang masih berumur 22 tahun, tetapi ia sudah berani untuk menikah sejak setahun yang lalu. Suaminya adalah seorang karyawan di sebuah toko busana muslim terkenal di kota Surabaya bernama Al-Khansa. Sebelum menikah, ustazah Hanifah adalah seorang wanita biasa yang bekerja di sebuah toko buku kecil dekat Pondok Pesantren Darul Mu’minin. Seorang pengajar Pondok Pesantren bernama Ustazah Arini sering melihat Hanif-begitulah panggilan Ustazah Hanifah dulu- kerap mendongengkan cerita-cerita Nabi dan para sahabat Nabi kepada anak-anak kecil selepas shalat Asar. Caranya saat mendongeng sangat mengasyikan. Tidak hanya dilakukan dalam satu tempat saja. Seringkali dia mengajak anak-anak kecil itu ke pelataran mushola di samping toko buku kecilnya atau bahkan pergi ke sawah dan kebun di belakang mushola sambil melihat cahaya langit jingga saat matahari mulai tenggelam di balik lembah-lembah yang berjajar. Hanif pun mempunyai cara unik dalam mendongeng, ia mengajak anak-anak kecil untuk ikut aksinya mendongeng dengan berlari-lari, bermain perang-perangan, memakai daun-daun dan ranting, memakai jubah dengan selendang yang diikatkan di belakang leher sehingga berkibar saat berlari. Itulah salah satu caranya mendongeng tentang peperangan Nabi Muhammad melawan kaum Kafir. Mendongeng menurut Hanif adalah salah satu caranya berdakwah pada anak-anak. Melalui cara itulah ia bisa lebih dekat dengan anak-anak dan mengajarkan ketauhidan Allah dengan cara yang disukai anak-anak. Hanif yang pada saat itu hanyalah lulusan SMP, dan tidak lagi melanjutkan sekolahnya karena harus membantu Ibunya bekerja menghidupi empat orang adiknya. Apalagi saat itu ia menjadi anak yatim sejak kelas 3 SMP. Ibunya menyuruhnya untuk tetap melanjutkan sekolah ke SMA, tetapi Hanif tetap tidak mau jika Ibunya sendirian bekerja untuk 5 orang anaknya. Hanif merasa harus mengalah dulu, menunda sekolahnya, walau ia pun tak tau kapan ia punya uang cukup untuk sekolah. Hanif tetap menikmati kehidupannya, keinginannya untuk bisa sekolah dia serahkan semua pada kuasa Allah.

Bersambung... .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar