Ilustrasi (ibh3.wordpress.com) |
“Dunia adalah perhiasan, sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.”(H.R. Muslim)
1/26 >> Ustazah Hanifah
“Aku masih ingin berlama-lama di sini. Di
luar sana, pasti akan ada yang mengoyakkan hati ini, sangat sulit hatiku
merasakan sejuk daun fajar yang terlapisi embun saat lepas dari tempat ini
bersamamu, ustazah.”
“Siapa nih yang
mau baca doa rabithah sebelum majelis ini kita tutup? Elmira?”
“Ya ustazah?,”
terperanjat dengan nada kaget sesaat setelah jiwa dan pikiranya berdialog
sendiri tentang kenyamanan hatinya berkumpul bersama teman dan murabbinya.
“Sedang memikirkan
apa, to? Kok kaget gitu? Ayo, Elmira yang pimpin doa rabithahnya ya?”
“Hehe, iya ustazah.
Bismillahirrohmaanirrohiim, mari kita
tundukan hati kita pada Allah SWT.”
Elmira, Ustazah
Hanifah, dan tiga temannya yang lain terlihat khusuk berdoa. Mereka duduk
melingkar di lantai sebuah Masjid dengan menengadahkan tangan, kepala
tertunduk, mata terpejam, dan badan sedikit condong ke depan. Suasana yang
sangat sejuk. Terdengar lirih suara Elmira memanjatkan doa rabithah dengan
fasih, yaitu doa pengikat hati yang terdapat dalam surat Ali Imran ayat 26 dan
27. Doa yang selalu dipanjatkan sebelum mereka berpisah dalam sebuah halaqah1 agar jiwa ini selalu
diingatkan akan kekuasaan Allah yang Esa.
Selesai Elmira
membaca doa, halaqoh mereka pun
diakhiri sore itu. Tanpa lupa ustazah Hanifah memberikan selembar lipatan
kertas kecil pada masing-masing adik didikannya. Itulah salah satu kebiasaan
Ustazah yang selalu berusaha agar adik-adiknya selalu istiqomah menjaga iman
mereka.
Satu per satu
mereka berpamitan satu sama lain. Hingga tersisa Elmira dan Murabbinya yang
belum beranjak pergi.
“Ada apa
denganmu, sholehah? Memikirkan apa tadi?” tanya Ustazah dengan senyum sambil
mengeser posisi duduknya tepat berhadapan dengan Elmira. Kedua lutut mereka pun
bersentuhan.
“Mira masih mau
di sini, ustazah. Mira males pulang. Mira merasa menjadi orang lain kalau sudah
keluar dari tempat ini.” Jawab Elmira dengan pandangan tertunduk.
“Ceritakan
saja, Mira. Mira percaya sama ustazah?”
Mira mengangguk
pelan kemudian mulai bercerita.
“Mira masih
sering merasa tidak nyaman memakai pakaian serba lebar dan jilbab yang teralu
besar ini, ustazah. Di sekolah, masih ada saja teman yang bilang ‘mau pengajian
bu Haji?’ sambil terkekeh menertawakan Mira. Teman-teman perempuan Mira pun
semakin enggan bersama Mira, mereka pernah nyeletuk ‘Kita manusia biasa bukan
manusia langit, maaf aja kalau sering khilaf. Jilbab sih nanti dulu, yang
penting hati dulu yang dijilbabi. Mira hanya bisa diam ustazah. Mira bingung
harus berkata bagaimana kepada mereka. Mira juga masih merasa sering lalai,
bukan manusia langit seperti kata mereka.”
Mira terdiam
sesaat kemudian meneruskan kata-katanya.
“Ustazah, boleh
Mira mengecilkan baju-baju Mira dan memendekan jilbab Mira?”
“Ustazah boleh
bertanya dulu? Kenapa Mira mau pake baju dan jilbab lebar ini?” tanya ustazah
dengan mengelus jilbab dan baju Mira.
“Karena Mira
melihat ustazah dan semua santriwati di sini. Dengan pakaian seperti ini,
mereka terlihat sangat cantik dan sejuk. Apalagi setelah ustazah mengajak Mira
masuk ke dalam halaqah ini. Mira pun berpikir harus memakai pakaian yang
seperti ini.”
“Hanya itu
Mira?”
“Tidak ustazah.
Ada lagi. Setelah ustazah bilang kalau setiap perempuan muslim wajib
mengulurkan jilbabnya menutupi dadanya, Mira jadi lebih tahu kalau Mira harus
selalu pakai jilbab. Tapi, kenapa harus serba lebar seperti ini, ustazah?”
“Aurat
perempuan bukan hanya sekedar permukaan kulit yang haram dilihat oleh orang
yang bukan mahram kita. Manusia mempunyai akal untuk berpikir bahkan
berimajinasi. Imajinasi manusia bisa menembus batas yang tidak terlihat secara
permukaan. Maukah kita kaum perempuan ditelanjangi dengan imajinasi mereka
karena pakaian kita yang membentuk lekuk tubuh? Ikhlaskah hati kita
diperlakukan diam-diam seperti itu? Mungkin kita akan mengatakan ‘Ya itu dosa
bagi mereka yang berpikiran kotor, kita kan sudah menjalankan perintah untuk
menutup aurat, di perintahnya juga tidak tertera larangan membentuk lekuk
tubuh.’ Perempuan dianugerahi oleh Allah dengan bentuk tubuh yang indah dan Allah
mewajibkan kita untuk menutupinya. Tujuan untuk menutup aurat itu agar tidak
menimbulkan fitnah berupa syahwat bagi orang yang melihatnya. Kalau kita
melihat seorang perempuan dengan pakaian ketat, apakah auratnya benar-benar
tertutupi dan tidak menimbulkan syahwat? Lebih aman yang mana antara perempuan
yang berpakaian ketat dengan orang yang berpakaian longgar?”
“Ya ustazah,
Mira mengerti. Mira juga tak akan terlalu ketat memakai bajunya dan Mira juga
sudah berjanji pada Allah akan terus memakai rok.”
“Dan janji Mira
itu sekarang disaksikan oleh ustazah,” sambung ustazah sambil menatap wajah
Mira dengan senyum seakan mengajak senyum adik didikannya yang memiliki wajah
putih dengan mata bulat yang selalu berbinar-seakan ada cahaya di matanya. Mira
pun ikut tersenyum memperlihatkan gigi putihnya yang tersusun rapi.
Ponsel ustazah
Hanifah berdering. Rupanya ada telepon dari suaminya. Ustazah Hanifah memang
masih berumur 22 tahun, tetapi ia sudah berani untuk menikah sejak setahun yang
lalu. Suaminya adalah seorang karyawan di sebuah toko busana muslim terkenal di
kota Surabaya bernama Al-Khansa.
Sebelum menikah, ustazah Hanifah adalah seorang wanita biasa yang bekerja di
sebuah toko buku kecil dekat Pondok Pesantren Darul Mu’minin. Seorang pengajar
Pondok Pesantren bernama Ustazah Arini sering melihat Hanif-begitulah panggilan
Ustazah Hanifah dulu- kerap mendongengkan cerita-cerita Nabi dan para sahabat
Nabi kepada anak-anak kecil selepas shalat Asar. Caranya saat mendongeng sangat
mengasyikan. Tidak hanya dilakukan dalam satu tempat saja. Seringkali dia
mengajak anak-anak kecil itu ke pelataran mushola di samping toko buku kecilnya
atau bahkan pergi ke sawah dan kebun di belakang mushola sambil melihat cahaya
langit jingga saat matahari mulai tenggelam di balik lembah-lembah yang
berjajar. Hanif pun mempunyai cara unik dalam mendongeng, ia mengajak anak-anak
kecil untuk ikut aksinya mendongeng dengan berlari-lari, bermain
perang-perangan, memakai daun-daun dan ranting, memakai jubah dengan selendang
yang diikatkan di belakang leher sehingga berkibar saat berlari. Itulah salah
satu caranya mendongeng tentang peperangan Nabi Muhammad melawan kaum Kafir.
Mendongeng menurut Hanif adalah salah satu caranya berdakwah pada anak-anak.
Melalui cara itulah ia bisa lebih dekat dengan anak-anak dan mengajarkan
ketauhidan Allah dengan cara yang disukai anak-anak. Hanif yang pada saat itu
hanyalah lulusan SMP, dan tidak lagi melanjutkan sekolahnya karena harus
membantu Ibunya bekerja menghidupi empat orang adiknya. Apalagi saat itu ia
menjadi anak yatim sejak kelas 3 SMP. Ibunya menyuruhnya untuk tetap
melanjutkan sekolah ke SMA, tetapi Hanif tetap tidak mau jika Ibunya sendirian
bekerja untuk 5 orang anaknya. Hanif merasa harus mengalah dulu, menunda
sekolahnya, walau ia pun tak tau kapan ia punya uang cukup untuk sekolah. Hanif
tetap menikmati kehidupannya, keinginannya untuk bisa sekolah dia serahkan
semua pada kuasa Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar