Jumat, 16 Oktober 2009

Kesempurnaan Bukanlah Segalanya

Cahaya Matahari memaksa masuk celah-celah ventilasi jendela. Sinar hangatnya menerpa wajah halus Naya. Sesekali dia bercermin dan menata ulang rambut, poni, kemeja, dan roknya. Melihat-lihat badannya di depan cermin dari ujung kepala hingga ujung sepatu high hill berwarna hitam. Berdiri tegap, menghadapkan badannya ke kiri dan balik ke kanan sambil memeriksa lagi dan kembali ke posisi semula.

“Oke, perfect”, senyumnya mengembang, menambah berseri wajah ayunya. Tangan kanannya menyambar sebuah kertas di samping meja make-up dan langsung mendekapkan ke dada. Sudah lebih dari sepuluh kali kertas itu ia baca. Sangat berharganya kertas itu, hingga ia tidur semalam sambil menggenggamnya.Tangan kirinya mengambil sebuah foto.

“Jane, lihat ini! Aku mendapatkannya setelah aku berusaha. Aku mendapatkan impianku. Kamu tahu, minggu lalu aku mencoba menulis surat dan melampirkan foto-foto karyaku. Sehari kemudian, aku menemukan segerombolan preman sedang menjarah sebuah toko Emas. Aku tak berani mendekat. Namun, saat itu juga aku mengeluarkan kamera digital dan mengabadikan pemandangan menegangkan itu. Aku cetak foto-foto itu dan aku bubuhkan sedikit tulisan di kertas. Kemudian aku kirimkan ke alamat yang sama dengan surat yang ku kirim sebelumnya. Ternyata usahaku membuahkan hasil. Aku mendapatkan balasannya. Yaitu surat yang sedang ku genggam sekarang. Hari ini, hari pertamaku menjalani semua impianku dulu dan itu menjadi kenyataan. Aku diterima menjadi seorang presenter televisi. Padahal dulu kamu yang selalu menjadi model di foto-fotoku. Sebentar lagi kamu akan melihat sahabatmu yang cantik ini muncul di televisi. Kamu pasti akan berkata, “Oh, Naya kamu hebat. so perfect”, ‘hahaha’, tertawanya terhenti saat pager Motorola-nya berdering.

Semua yang ada di kedua tangannya ia letakkan di atas meja. Ia mencari asal bunyi pagernya. Ia obrak-abrik isi tas yang berada di atas kasur, dan ia menemukan pagernya.

“Hallo, Assalamu’alaikum”, jawab Naya setelah memencet tombol hijau di pagernya.

“Wa’alaikumussalam, ini Naya?”, tanya sebuah suara di seberang sana .

“Ya, ini siapa dan ada perlu apa?”

“Saya sekretaris pemberitaan televisi. Anda tentu telah menerima surat dari perusahaan kantor kami. Anda ditunggu kepala bagian pemberitaan untuk membicarakan tugas pertama Anda, pada pukul delapan lebih lima belas menit. Saya harap Anda tidak terlambat.”

“Baik-baik saya mengerti. Saya akan segera datang dan pasti tidak akan terlambat”.

“Baik. Terima kasih dan Selamat Pagi”.

‘tut…tut…tut…’

Buru-buru ia masukan pagernya ke dalam tas dan berjalan keluar dengan sedikit berlari.

“Waktunya tinggal seperempat jam lagi”, gumamnya. Matanya melirik jam tangan.

Sesampainya di depan pintu masuk kantor, tiba-tiba kakinya mengerem. Kaca pintu masuk itu seakan menahannya dan menyuruhnya membereskan penampilannya. Kedua tangannya mengibas-ibaskan pundak, merapikan poni rambutnya dan kerah meja putihnya. Naya menghela napas sejenak, kemudian melangkahkan kakinya masuk.

“Nona Naya?”, sebuah suara perempuan menghentikan langkahnya.

“Ya, saya Naya”, jawabnya dengan dengan hati menduga-duga ‘mungkin ini perempuan yang meneleponku tadi pagi’

“Anda sudah ditunggu Pak Hendratmo di ruangannya. Itu ruangannya ”

“Oh, ya terima kasih”, jawab Naya sambil melangkah menuju arah yang ditunjukkan.

Jantungnya mulai dag-dig-dug saat selangkah lagi kakinya tepat berada di depan pintu yang bertuliskan ‘Directure Room’.”

‘tok-tok-tok’

“Silahkan masuk”, terdengar suara di dalam sana .

Perlahan tangan kanan Naya menggenggam dan mendorong gagang pintu. “Selamat pagi, Pak”!.

“Pagi! Silahkan duduk dan baca kertas di dalam map itu!”, perintah Sang direktur dengan wajah penuh keseriusan.

Lembar demi lembar perlahan di baca dengan cermat.

“Selasa, 16 September 2008, hari ini, Pak”?, matanya membelalak dan mulutnya membenruk huruf O.

“Ya benar. Anda tidak punya banyak waktu lagi. Ikuti semua prosedur di kertas itu dan…Selamat bekerja”!, tegas Pak Direktur sambil menjabat tangan Naya.

“eee, baik Pak, saya akan melaksanakannya, Selamat pagi”!.

Lekas Naya beranjak keluar. Saat membuka pintu dirinya dikagetkan oleh seorang laki-laki berdiri bersandar di pinggiran pintu. Di tangannya tertenteng kamera.

“Mari kita berangkat”!, kata lelaki itu tiba-tiba.

Naya tercengang, lalu dia clingak-clinguk ke belakang dan samping kanan kirinya.

“Saya bicara dengan Anda, Nona Naya”!, jelas lelaki itu dengan mengacungkan jari telunjuknya kearah Naya.

“Saya”?, tanya Naya kemudian.

“Saya tidak mungkin salah orang. Ini pasti foto Anda, bukan?”. Sambil menunjukan kartu identitas Naya dan mengalungkannya ke leher Naya.”Saya Ruliff, partner kerja Anda.Ayo cepat waktu kita tidak banyak”!, lanjut Ruliff yang langsung menyambar tangan Naya dan berjalan dengan tergesa-gesa. Naya pun mengikuti langkahnya dengan muka bingung.

“Hei, kamu mau bawa Aku kemana”?, tanya Naya dengan nada suara lumayan tinggi.

Tiba-tiba Ruliff mengerem kakinya.

‘Jedugg!!!’

“Ough”, terlontar dari mulut Naya. Sambil megusap-usap jidatnya yang ke-jedug pundak kiri Ruliff, Naya berkata, “Kamu gila!. Kalau mau berhenti bilang dulu”.

‘Sreset’.

Sebuah kertas yang disodorkan Ruliff hampir-hampir mengenai mukanya. Saat tangan Naya ingin meraih kertas di hadapannya, kertas itu melayang lepas dari tangan Ruliff. Tiba-tiba badannya tertarik kedepan. Bola mata Naya terus mengikuti kertas yang melayang semakin ke belakang, lalu “Happ!, tertangkap juga.”,gumam Naya.

Mereka pergi sesuai tugas dari pimpinan mereka. Setelah sampai di tempat yang sesuai dengan alamat di kertas itu, kebisingan mulai terdengar, klakson mobil dan motor saling beradu. Jerit dan tangis menyelinap di sela-sela lalu lalang orang. Semua mata dan perhatian tumpah pada sebuah mobil APV dengan roda di atas setelah menyeruduk masuk ke sebuah warteg di pinggir Jalan Suprapto, Jakarta Timur. Suasana panas jelas tergambar dari kebulan asap hitam dan jilatan-jilatan api yang meninggi. Terlihat sebuah mobil pemadam kebakaran yang bertengger memenuhi separuh jalan raya.

“ Ada anak kecil yang terjepit di dalam”!, sebuah teriakan seorang perempuan di kerumunan orang menunjuk kearah mobil yang terguling.

“Dia masih bergerak”, teriak yang lain.

“Ruliff cepat!, kita tidak boleh tertinggal berita ini”!, ucap Naya dengan suara yang mencoba masuk sela-sela kebisingan. Naya menarik tangan Ruliff dan terus menerobos orang-orang mendekati mobil yang terguling. Mereka berdua ikut berhambur bersama petugas medis yang sedang mencoba mengeluarkan seorang anak kecil yang terjepit. Naya mencoba memasang tubuhnya satu meter dari mobil yang terguling tersebut.

“Ayo, Ruliff siapkan kameranya!. Kita akan meliput adegan ini. Ini berita yang bagus buat kita”.

“Oke, bersiap!. Satu, dua, ya…!”, ucap Ruliff ketika mulai memutar kameranya.

“Pemirsa, sebuah mobil APV terbalik karena menabrak sebuah warteg di Jalan Jendral Suprapto, Jakarta Timur. Dapat di lihat begitu hiruk-pikuk dan jilatan-jilatan api yang membakar warteg tersebut. Anda bisa melihat seorang anak kecil yang terjepit itu dan petugas medis sedang mencoba mengeluarkannya…..”

Naya terus nyerocos hingga anak kecil itu terselamatkan, dengan luka-luka yang dibilang serius, dibawa oleh Ambulan.

*

“Tepat satu bulan yang lalu, Aku mendapatkan pekerjaan yang sudah lama ku impikan. Dan hari pertama itu paling berkesan . Hingga aku mendapatkan ini.”, satu tetes air matanya jatuh pada selembar kertas yang atasnya tertulis ‘Sertifikat Penghargaan’, Matanya sembab tak berbinar lagi seperti tiga puluh hari yang lalu. Hingga kantung matanya terlihat hitam karena kurangnya waktu tidur.

“Sinar mentari hangat ini sama persis rasanya pada waktu itu. Burung berkicau riang, bunga-bunga saling beradu mengeluarkan aroma tubuhnya, dan angin lembut ini mengoyakkan dahan yang masih basah”. Naya menghela napas panjang. “Sekarang jauh berbeda . Aku tak lagi datang ke tempat itu, aku tak lagi memakai baju kerjaku. Tak lagi pergi sama Ruliff”. Tangannya menyeka pipi yang basah karena lelehan air matanya. Gumamnya berhenti. Sesekali terdengar isakan dari mulutnya. Dia duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu dengan penyangga dua roda kayu di samping kanan dan kiri, tetapi paten dengan tanah. Jadi, tidak bisa menggelinding. Di sekelilingnya adalah tanaman bunga mawar, angrek bulan dan bunga-bunga kecil yang merambat di rumput Jepang. Tanaman-tanaman itu adalah hasil kerjanya dengan Jane,teman se-SMAnya dulu, sekaligus sahabatnya. Mereka menanami lahan kosong di belakang rumah Naya.

Hari berikutnya justru sebaliknya, terasa dingin, saat udara memeluk erat kulit mulus Naya, padahal sudah pukul sembilan. Dia duduk di jendela kamarnya yang tak dipasang trails besi.

“Pagi Nay. Maaf aku langsung masuk, karena pintu kamarmu terbuka lebar dan Aku melihat kamu sedang khidmat dengan lamunanmu”, sebuah suara terasa mendekati Naya.

“Jane..?, ya tak pa. Lama kamu tak lagi menemuiku ?!”, jawab Naya.

Jane mendekati Naya dan berhenti tepat di ujung siku kasur yang berjarak delapan puluh sentimeter dari tempat Naya berada.

“Kamu sangat sempurna Jane. Kadang Aku iri padamu. Apalagi setelah kamu diterima menjadi Pramugari dan pindah ke Malaysia . Kamu lebih dulu mendapatkan impianmu dari pada Aku”. Suaranya terhenti. Naya menarik napas dan mengusap matanya yang menampung air mata. “Aku baru mencicipi sedikit. Namun ketidakadilan memihakku. Mobil itu meledak dan kaca-kacanya merasuk, membunuh penglihatanku dan cita-citaku saat hari pertamaku bekerja. Itulah memori pemandangan terakhir yang terekam di otakku. Pedih dan menyakitkan. Hal ini jelas berbeda dari dirimu Jane.” Naya menghela napas.

“Nay,” Jane lebih mendekat dan tangannya mengelus pundak Naya berusaha menenangkannya. “Kamu masih bisa melihat dengan hatimu dan akan aku gambarkan setiap tempat yang ingin kamu lihat. Kamu masih punya harapan untuk bisa melihat lagi. Aku tahu itu dari Bunda Femi, Ibumu, kalau matamu masih bisa disembuhkan. Kamu tahu di luar sana masih banyak yang lebih cacat dan menderita daripada kita.”

“Kita?.” Kamu tidak merasakannya, Jane”, bantah Naya dengan suara tinggi.

“Nay, aku sudah tak bekerja lagi dan aku bukan lagi seorang Paramugari. Setiap hari aku hanya diam dan duduk. Mana tangan kamu, Nay?.” Jane memegang kedua tangan Naya dan meletakkannya di pangkuan Jane. Naya begitu terkejut. Tangannya meraba kedua lutut Jane dan hanya itu, kedua kaki Jane buntung, di amputasi.

“Aku mengalami kecelakaan saat pesawat yang aku tumpangi jatuh dan terbakar. Aku beruntung masih selamat walau harus merelakan kedua belah kakiku lepas dari tubuhku. Aku ingin mengabarimu. Namun, aku lebih dulu mendengar kabar kalau kamu diterima menjadi presenter, dari bunda Femi, lalu aku mengurungkan niatku. Aku tak mau mengobrak-abrik kebahagiaanmu. Sampai akhirnya aku mendengar kabar buruk ini dan kematian Ruliff. Aku langsung pulang, tetapi tak segera menemuimu. Karena aku belum siap dengan keadaanku ini”.

Naya memeluk Jane, dan hanya terdengar isakan tangis dari keduanya.

“Sudah, kita nggak boleh cengeng seperti ini!” Jane melepas pelukan dengan lembut dan mengusap air matanya dan juga air mata Naya.

Emmm, hari ini aku akan mengajakmu ke tempat favorit kita dulu, kebun kupu-kupu yang kita buat di atas bukit, belakang sekolah SMA kita. Kamu akan tetap bisa melihatnya lewat setiap keindahan yang ku tangkap dengan mataku dan kamu bisa menggambarkan dengan imajinasimu. Selamanya kamu akan tetap melihat dengan hati dan imajinasi”.

*

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar