Jumat, 16 Oktober 2009

Laskar Pelangi: Sebuah Pelik Pendidikan

oleh: Diah Nur Fitri Rahmawati

Guru-guru yang sederhana ini berada dalam situasi genting karena Pengawas Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah hanya mendapat murid baru kurang dari sepuluh orang, maka sekolah paling tua di Belitong ini harus ditutup (halaman 4).

Sungguh memprihatinkan, sebuah kisah nyata yang memberikan gambaran betapa peliknya Pendidikan di tahun 1970, khususnya di daerah Belitong, Sumatera Selatan. Sebuah Sekolah Dasar Muhammadiyah dengan dua orang guru, yaitu Bu Muslimah dan Pak Harfan, menantikan seorang murid lagi untuk kelangsungan Pendidikan. Detik-detik yang sangat memilukan, saat seorang murid lagi tidak kunjung datang. Bu Mus bertekad untuk mencari kekurangan satu murid hanya karena menginginkan sekolah paling tua itu tetap dibuka. Namun, Harun, dapatlah kita sebut sebagai seorang penyelamat pendidikan SD Muhammadiyah, datang untuk melengkapi kekurangan murid tersebut.

Di awal cerita saja kita dapat merasakan betapa susahnya menegakkan pendidikan bagi orang-orang yang tidak mampu materi. Sampai-sampai seorang guru hendak mencari seorang murid, bukan murid yang mencari guru. Di sini, kisah Laskar Pelangi, sepuluh anak yang kehausan ilmu, mencoba bangkit dari segala keterpurukan pendidikan. Pendidikan yang bagi mereka, anak-anak miskin, seperti barang mewah. Segala keterbatasan materi, membuat orang tua enggan menyekolahkan anak-anaknya. Hanya rasa percaya dan butuh yang membuat kesepuluh anak Laskar Pelangi mampu menunjukan kualitas pendidikan mereka. Percaya bahwa mereka bias dan mampu meraih impian di tengah himpitan ekonomi, dan butuh pendidikan untuk perubahan hidup yang lebih baik.

Rendahnya pendidikan sangat dekat dengan kemiskinan. Seakan orang-orang miskin tidak punya kuasa untuk dirinya sendiri mengecap manisnya pendidikan pada saat itu. Pendidikan hanya untuk orang-orang yang mampu materi. Sepertinya paham kapitalisme pada masa penjajahan Belanda masih melekat di Belitong atau Sistem Birokrasi Pendidikan yang belum memeratakan pendidikan hingga ke pelosok tanah air.

Andrea Hirata, penulis novel Laskar Pelangi, sangat jelas menggambarkan perbedaan strata sosial di Belitong. Kelayakan pendidikan hanya didominasi oleh masyarakat miskin dan karyawam PN Timah. Sedangkan masyarakat miskin ialah mereka yang hidup di pinggiran lampung, di luar batas tembok-tembok tinggi Gedong. Padahal lampung mereka adalah lampung yang kaya akan sumber alam Timah yang tertimbun di area Gedong. Kemakmuran hanya didapat orang-orang Gedong dan keterpurukan untuk orang-orang pinggiran. Suasana kontras ini menggambarkan belum meratanya kemakmuran rakyat yang menyebabkan rendahnya pendidikan mereka.

Patutlah, salah satu novel dari Tetralogi Andrea Hirata ini diangkat menjadi sebuah film yang disutradarai Riri Riza. Film yang sangat menggetarkan hati karena nilai-nilai luhur yang dibawanya. Walaupun faltanya terdapat beberapa perbedaan antara novel dengan filmmnya, baik dalam beberapa peristiwa maupun dalam tokoh-tokohnya. Namun, hal ini tidak mengurangi nilai selama amanat atau pesan pengarang dapat tersampaikan. Nilai-nilai luhur tersebut antara lain nilai kesungguhan, kemauan, ketulusan, persahabatan, kerja keras, dan nilai-nilai akhlakul karimah yang banyak diajarkan oleh Pak Harfan.

Gambaran peliknya pendidikan yang dialami kesepuluh anak Laskar Pelangi membuat kita mengucap syukur. Kita termasuk dalam orang-orang yang beruntung dapat menempuh Pendidikan di masa sekarang. Kita dapat bersekolah dengan nyaman, dengan segala fasilitas yang telah ada. Bahkan kita dapat melihat banyaknya gedung sekolah mulai dari PAUD sampai Perguruan Tinggi yang bercokol dimana-mana. Andrea Hirata telah mampu membukakan mata kita, betapa kesungguhan sangat diperlukan demi menegakkan Pendidikan dan cita-cita anak bangsa kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar